blog_img1

Menyoal Ketahanan Pangan Yang Belum Memuaskan

Kesadaran sekaligus langkah dan gerakan untuk menempuh new normal, atau beradaptasi dalam suatu kenormalan baru, tentu saja merupakan salah satu solusi terbaik menghadapi pandemi Covid-19. Sebab simpang-siur kepastian tentang obat dan vaksin serta besarnya kemungkinan mutasi virus adalah dua di antara sebab yang harus dipertimbangkan.

Hemat saya, sebagai langkah prevensi lebih jauh, penyelenggara pemerintahan—eksekutif, legislatif dan yudikatif—bisa atau bahkan wajib berpikir, bersikap dan bertindak lebih jauh. Dengan berpatokan pada konsep ketahanan pangan jangka panjang, sebagai hal pokok dalam ekonomi subsistensi, harus ada satu sistem yang terpercaya secara saintifik dan dijalankan secara efektif, efisien dan bertanggung-jawab.

Dalam hal ini, ada baiknya kita mengingat sejenak apa yang dilakukan Nabi Yusuf setelah diangkat diangkat menjadi wazir (vizier) di tanah Mesir. Kisah ini diabadikan secara indah dalam kitab suci tiga agama besar dunia: Islam, Nasrani dan Yahudi. Di Indonesia, kita bisa membacanya dalam Alquran dan Alkitab.

Konon, pada satu malam, raja mesir—yang biasa bergelar Fir’aun atau Pharaoh di masa Mesir kuno berabad-abad sebelum Masehi—bermimpi. Dalam mimpi tersebut, sang raja melihat peristiwa yang amat mengganggu pikirannya.

Ketika tengah berdiri di pinggir Sungai Nil, sang raja tiba-tiba melihat tujuh ekor tujuh sapi gemuk muncul yang tak lama kemudian disusul oleh tujuh sapi kurus. Ketujuh sapi gemuk kemudian dimakan oleh tujuh sapi yang kurus. Kemudian sang raja bermimpi lagi. Di hadapannya tumbuh tujuh tangkai gandum dengan bulir-bulir yang bernas. Namun seperti halnya ketujuh sapi, munculnya ketujuh tangkai gandum berbuah bernas disusul oleh tumbuhnya tujuh tangkai gandum kering berbuah jelek dan memakannya.

Nabi Yusuf, yang tengah dipenjara karena fitnah, diminta untuk menafsir mimpi sang raja. Jawabannya, “… hendaklah kalian bercocok tanam selama tujuh tahun [dengan sungguh-sungguh]; di mana hasil panen tak boleh dimakan semuanya kecuali sekadar untuk dimakan. [Sebab] akan datang setelah itu tujuh tahun yang amat sulit, sehingga hanya akan tersisa sedikit saja persediaan pangan kalian sampai kembali turun hujan yang cukup [untuk bercocok tanam dan] kembali bisa memeras anggur." (QS. 12:47-49)

Mendengar dan melihat kebijaksanaan jawaban Nabi Yusuf, sang raja menjadi lega dan segera menyusun rencana. Tahanan berkebangsaan Ibrani yang tampan, gagah dan cerdik-cendikia itu kemudian diangkat sebagai wazir yang berwenang penuh untuk mengurus perbendaharaan negara.

Singkat cerita, Nabi Yusuf menjalankan amanah raja dengan penuh tanggung-jawab. Setiap penduduk diperintahkan untuk memanfaatkan lahan semaksimal mungkin dengan bercocok-tanam dan memelihara ternak. Setiap jengkal tanah negara yang bisa ditanami digarap atas nama kerajaan. Nabi Yusuf membangun lumbung pangan negara dalam perhitungan yang ketat sehingga bisa mencukupi kebutuhan dalam masa paceklik selama tujuh tahun dan untuk menghadapi masa tanam setelah itu.

Ketika masa paceklik panjang melanda, negeri Mesir tetap bisa bertahan. Negeri-negeri sekitarnya, bahkan dari wilayah yang amat jauh dalam hitungan waktu perjalanan masa itu, terpaksa belanja bahan pangan ke Mesir. Secara geopolitik, kita tahu dari sejarah, Mesir pernah amat berjaya sebelum kemudian dianeksasi oleh Kerajaan Romawi.

Ketahanan Pangan Indonesia

Di atas kertas, menggunakan hasil pengukuran Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index) atau IPK-G, gerak ketahanan pangan Indonesia pada dasarnya belum menggembirakan.  Survei The Economist’s Intelligence Unit menunjukkan bahwa IPK kita sebesar 62,6 (skala 0-100). Negara dengan indeks tertinggi adalah tetangga kita Singapura (87,4).

IPK Indonesia masih lebih rendah dibanding dua negara Asia Tenggara lainnya, yakni Malaysia (73,8) dan Vietnam (64,6). Secara peringkat, Indonesia pada posisi 62 dunia, naik dari  posisi 65. Dibanding tahun sebelumnya, pencapaian Indonesia menujukkan perbaikan, yang hanya mencapai 54,8. Secara tren, perbaikan terlihat di sepanjang periode 2012-2019.

Dengan melihat luas geografis, potensi alam dan jumlah tenaga penduduk atau tenaga kerja, pencapaian ini tentu saja memprihatinkan. Meskipun kita bisa saja beralasan bahwa skor ini berbanding lurus dengan berbagai pencapaian dalam bidang-bidang lainnya seperti kualitas sumber daya manusia, teknologi dan sebagainya.

Akan tetapi, pandemi ini semestinya memberi kita pelajaran yang lebih memotivasi dan berdampak pada perbaikan yang sebenar-benarnya. Sebab jika ini berlangsung lebih lama lagi, resesi ekonomi yang bisa meluluh-lantakkan kehidupan masyarakat banyak, bangsa dan negara ini lambat-laun akan terjadi.

Indikasi awal dari betapa rentannya ketahanan pangan kita bisa dilihat dalam skor ketiga aspek yang dijadikan dasar penghitungan IPK global.  Skor tertinggi adalah pada daya beli masyarakat (70,4), yang mengindikasikan bahwa secara rata-rata masyarakat Indonesia punya kemampuan untuk memperoleh (dengan membeli) bahan pangan.

Tetapi bagaimana dengan angka 29,6 lagi? Karena ini adalah rata-rata atau generalisasi, bagaimana dengan deviasi atau mereka yang tak masuk dalam kurva normal? Sejauh mana efektifitas kebijakan negara menjangkau mereka? Ketika ekonomi saat ini berdasar pada alat tukar berupa uang, bagaimana jika nilai uang merosot dan menjadi tak berharga?

Kedua, skor lebih rendah diperoleh pada aspek availability, yakni kecukupan pasokan pangan nasional, risiko gangguan pasokan, kapasitas negara untuk mendistribusikan pangan, dan upaya penelitian untuk memperluas hasil pertanian, yakni 61,3. Bayangkan dengan angka ini, misalnya, bahwa masyarakat sudah tidak punya uang dan pemerintah kemudian mengguyur dengan bantuan langsung tunai, apa yang akan terjadi?

Ketiga, skor paling rendah adalah pada aspek quality and safe, yakni kualitas dan keamanan standar nutrisi dan pengawasan impor, yang hanya 47,1—tidak mencapai 50. Ini artinya, negara punya pekerjaan rumah yang masih sangat banyak tentang institusionalisasi perpanganan: tata kelola, regulasi, dan penegakan hukum.

Kembali pada kisah Nabi Yusuf, tentu tak ada jalan pintas yang mudah atau pertolongan Tuhan yang turun dengan tiba-tiba. Kehadiran Nabi Yusuf bagi bangsa Mesir kuno harus dilihat sebagai kisah sejarah yang sangat menonjol sehingga kemudian diabadikan. Sehingga, karena dibaca dalam konteks waktu dan tempat yang berbeda, kejadian-kejadian di dalamnya terasa sebagai mukjizat, amat mudah dan sederhana. Ketika dihadirkan, kisah sejarah telah mengalami simplifikasi di sana-sini (overly simplified).

Akan tetapi, belajar dan berbuat berdasar hikmah dari kisah tersebut tentu bukan hal mustahil. Atas dasar analogi, di sana-sini ada keserupaan, di mana kita melihat seperti ada aspek-aspek tertentu dari sejarah yang terus berulang. Dan karena perulangan tersebut, sedikit banyak ada gagasan-gagasan yang pernah berhasil diterapkan di masa lampau akan bisa juga digunakan sampai taraf tertentu di masa kini.

Oleh karena itu, setelah beberapa bulan lalu pemerintah menggagas food estate, maka kini harus ada langkah yang lebih kongkrit—menyelesaikan masalah kini dan masa selanjutnya sekaligus—yakni dengan adanya Jaring Pengaman Sosial yang bertujuan langsung pada pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat berbasis Sektor Pertanian.

Allahu a’lam bi al-Shawaab.

 

____
Dipublish juga di 
https://akurat.co/news/id-1205861-read-menyoal-ketahanan-pangan-yang-belum-memuaskan