blog_img1

Musim Semi Perbankan Indonesia

 

Oleh : Achsanul Qosasi

 


 

MUSIM semi selalu ditandai dengan cuaca yang lebih hangat, kuncup bunga menyembul bermekaran, dan selalu diartikan sebagai munculnya harapan. Karena itu, Musim Semi Perbankan Indonesia bisa diartikan adanya harapan baru dalam perbankan di Indonesia.

 

Tentu banyak orang berpikir, ini "menggantang asap". Perbankan Indonesia sudah memperoleh citra buram sejak krisis lalu. Gedung-gedung bank di sepanjang Thamrin dan Sudirman, yang semula menggambarkan kejayaan perbankan sebelum krisis, akhirnya menjadi potret buram pada tahun-tahun pertama krisis. Namun, apakah citra itu akan terus menempel perbankan Indonesia? Apakah tidak lagi ada perbaikan di sektor itu?

 

 

PERBANKAN INDONESIA


 

Citra perbankan Indonesia yang buram memang memedihkan. Meski demikian, citra seperti itu merupakan konsekuensi yang harus diderita karena krisis maupun ekses-ekses pada masa sebelum krisis. Namun, dalam lima tahun terakhir, perbankan Indonesia sebenarnya sudah mengalami perubahan cukup besar. Tiga indikator penting yang menandai kehidupan perbankan adalah likuiditas yang memadai, permodalan yang cukup, dan tingkat keuntungan yang menjanjikan.

 

Likuiditas perbankan menunjukkan perkembangan semakin sehat dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, pada akhir tahun 2002, likuiditas perbankan (dalam hal ini diukur dari perbandingan antara alat likuid perbankan dengan kewajiban segera) ada pada tingkat 18,45 persen. Angka ini mengalami peningkatan dibanding posisinya tahun 2000, jauh di atas lima persen Giro Wajib Minimum yang disyaratkan.

 

Sementara itu, permodalan bank pun mengalami perkembangan bagus. Tingkat kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) dari seluruh sistem perbankan Indonesia pada akhir tahun 2002 ada pada 22,49 persen. Angka itu melonjak jauh dibanding CAR tahun 2000 yang mencapai 12,7 persen. Dengan demikian, modal perbankan cukup untuk menampung potensi kerugian yang disebabkan kegagalan kredit maupun risiko lain. Umumnya, suatu stress testing dapat dilakukan untuk melihat bagaimana dampak perubahan faktor tertentu atas permodalan sistem perbankan. Kenaikan suku bunga, atau perubahan nilai tukar, merupakan beberapa faktor yang umumnya digunakan untuk melakukan pengujian semacam itu.

 

Berbeda dengan saat krisis berlangsung, perbankan Indonesia sudah mengalami keuntungan amat memadai tahun 2002. Bank-bank pemerintah mengalami keuntungan cukup besar, begitu pun bank-bank swasta. Bank-bank asing juga memberi hasil keuntungan bervariasi. Secara keseluruhan, keuntungan perbankan itu dapat diukur melalui apa yang disebut rasio Return on Assets (ROA), yaitu perbandingan laba dengan aset keseluruhan perbankan. Dalam hal ini, ROA 2002 menjadi 1,97 persen, tiga kali lipat dibanding ROA 2000 sebesar 0,66 persen. Bahkan, dalam angka absolut, keuntungan ini tercermin dari Net Interest Income (NII) perbankan yang tahun 2002 mencapai Rp 42,9 trilyun, hampir dua kali lipat dibanding tahun 2000 yang hanya mencapai Rp 22,8 trilyun.

 

Dalam kaitan keuntungan dan permodalan adalah risiko yang ditimbulkan kegagalan kredit. Indikator penting untuk mengukur hal itu adalah besarnya non-performing loans (NPL). Sekali lagi, di bidang ini, indikator yang ada juga menunjukkan perkembangan yang membesarkan hati. Tahun 2000, NPL kotor 18,89 persen dari seluruh pinjaman. Tahun 2002, angka itu menurun menjadi "hanya" 8,09 persen. Bahkan, jika dikurangi pencadangan penghapusan piutang, NPL juga turun dari 5,89 persen (2000) menjadi 2,1 persen (2002).

 

Dengan melihat tiga indikator utama itu, kita pantas berharap, "musim semi" perbankan kita sudah berlangsung.

 

 

DEBAT "SUBSIDI REKAPITULASI"


 

Sudah tentu kita tidak steril dari debat yang berlangsung baru-baru ini, bahwa keuntungan bank-bank yang direkapitalisasi adalah semu. Argumen kelompok yang mengatakan hal itu adalah bahwa keuntungan terutama disebabkan "subsidi bunga" yang diberikan pemerintah melalui Obligasi Rekapitalisasi sehingga jika bunga itu dihilangkan, bank-bank itu akan mengalami kerugian.

 

Ini memang debat aneh, sebab seandainya hal itu harus dilakukan, maka debat itu seharusnya digelar saat rekapitalisasi dilakukan, bukan saat ini. Saat rekapitalisasi dilakukan, pilihan yang ada waktu itu adalah menutup bank dimaksud atau menambah modal. Sebagai ilustrasi, jika suatu bank memiliki aset Rp 1 trilyun dan utang (yang sebagian besar berasal dari simpanan masyarakat) sebesar Rp 1,2 trilyun, maka modalnya menjadi negatif dalam jumlah besar. Jika bank itu ditutup, pemerintah terpaksa menanggung kerugian Rp 1,2 trilyun (membayar kembali seluruh utang) dikurangi perolehan (recovery) yang didapat dari penjualan aset Rp 1 trilyun.

 

Jika pemerintah berhasil menjual seluruh aset senilai bukunya, kerugian pemerintah menjadi Rp 200 milyar. Jika harga jualnya hanya 50 persen, kerugian pemerintah menjadi Rp 700 milyar, dan seterusnya. Jika recovery hanya 20 persen, sebagaimana banyak terjadi dengan aset BPPN, kerugian pemerintah Rp 1 trilyun.

 

Alternatifnya dengan menambah modal sampai dengan tingkat CAR memadai. Jika CAR yang memadai itu berarti modal sebesar Rp 300 milyar, maka pemerintah harus menambah modal bank itu dengan Rp 500 milyar, yaitu dari negatif Rp 200 milyar menjadi positif Rp 300 milyar. Sementara itu, dengan penambahan modal, pemerintah memiliki saham bank sesuai perhitungan yang disepakati kedua pihak, yang nantinya dapat dijual kembali melalui privatisasi. Untuk penambahan modal itu, pemerintah memberi Obligasi Rekapitalisasi Rp 500 milyar kepada bank itu sehingga kini aset bank itu menjadi Rp 1,5 trilyun, utang Rp 1,2 trilyun, modal Rp 300 milyar.

 

Dalam hal ini, pilihan pemerintah adalah mengalami rugi yang harus ditanggung jika bank harus dilikuidasi (rugi antara Rp 200 milyar sampai Rp 1 trilyun) atau kerugian penambahan modal, yaitu sebesar Rp 500 milyar, tetapi masih memiliki saham bank yang dapat dijual kembali. Keputusan yang ada pada hakikatnya adalah memilih kerugian terkecil bagi pemerintah, namun tetap mempertahankan kelangsungan hidup sistem perbankan. Dalam hal ini pemerintah sudah mengambil keputusan sejak tahun 1999 sehingga akan menjadi langkah mundur, bahkan seperti kata Timbul dari Srimulat, merupakan hil-hil yang mustahal jika keputusan itu dianulir lagi.

 

Mengingat penambahan modal pemerintah dilakukan dengan penerbitan obligasi, maka pemerintah wajib melakukan pembayaran bunganya. Jika penambahan modal itu dilakukan dalam bentuk uang tunai, maka bank-bank yang direkapitalisasi akan dapat menanamkan uang itu dalam surat berharga (SBI, misalnya) yang suku bunganya tidak banyak berbeda dengan suku bunga Obligasi Rekapitalisasi. Karena suku bunga obligasi itu tidak berbeda dengan suku bunga pasar, maka tidak ada elemen subsidi dalam hal ini. Jika obligasi itu memberi bunga yang jauh lebih tinggi dari suku bunga SBI, misalnya, maka barulah di situ ada unsur subsidi.

 

 

SEMINAR


 

Dengan melihat hal itu, maka keuntungan yang diperoleh bank-bank hasil rekapitalisasi memang keuntungan murni yang diperoleh bank-bank itu. Jika Bank Mandiri berhasil menjual semua obligasinya ke pasar dan menggantikan portofolionya dengan kredit, maka keuntungan yang diperoleh adalah sama murninya dengan keuntungan yang diperoleh pada saat asetnya masih dalam bentuk Obligasi Rekapitalisasi.

 

Perkembangan semacam ini juga terjadi di negara-negara yang mengalami krisis perbankan, baik di negara-negara berkembang bahkan di negara-negara maju. Di negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Denmark), misalnya, bank-bank mereka yang hancur lebur selama krisis tahun 1992 akhirnya harus "dinasionalisasi" dan dilakukan penambahan modal. Setelah menjadi sehat, bank- bank itu diprivatisasi kembali. Dalam beberapa tahun kemudian, bank-bank itu berkembang dengan cepat, bahkan akhirnya masuk kelompok elite bank-bank Eropa. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, bank-bank itu juga melakukan ekspansi ke negara-negara lain, seperti negara-negara Baltik dan negara Eropa Timur.

 

Oleh karena itu, musim semi perbankan Indonesia bukan musim semi semu. Ini benar-benar musim semi, meski aset perbankan masih banyak diwarnai obligasi pemerintah. Untuk memberikan potret yang sebenarnya, CBPlus Mondial akan menggelar seminar "Musim Semi Perbankan Indonesia". Para pakar perbankan luar negeri dan IMF akan hadir menyampaikan kajian mereka yang optimistis mengenai perbankan Indonesia. Sementara itu, beberapa bank dipilih untuk menyampaikan pengalaman masing-masing dalam mengatasi krisis yang hampir menghancurkan mereka, namun akhirnya melahirkan mereka kembali dalam sosok yang lebih kuat dan berdaya tahan.

 

Mudah-mudahan menjadi jelas bagi masyarakat, potret perbankan Indonesia tidaklah seburam yang digambarkan. Perbankan Indonesia sungguh ada dalam musim seminya kini.