blog_img1

Zakat Pengurang Pajak?

Oleh Achsanul Qosasi

 

Bukanlah gagasan atau keinginan baru. Itulah zakat sebagai faktor pengurang pajak. Dan kini, gagasan itu bergulir kembali sejalan dengan proses legislasi yang kini sedang digodok di parlemen. Yang perlu kita lebih jauh, adakah imbas posotif konstruktif sebagai penambah akumulasi pendapatan negara?

Ada beberapa hal yang perlu kita catat lebih jauh dari gagasan itu. Pertama, sejalan dengan kasus perpajakan yang kini sedang menguak, maka sebuah kemungkinan yang paling rasional adalah para insan pajak kini “tiarap” (menyelamatkan diri), dari level tertinggi hingga terbawah, termasuk office boy, sekalipun mereka bukan karyawan struktural. Mereka tak akan lagi agresif menjalankan tugasnya dalam mengejar para wajib pajak.

Dengan peta kinerja aparat pajak yang “meloyo” tersebut – di atas kertas – pendapatan pajak akan berkurang secara signifikan. Yang bakal terlihat dominan adalah aksi kerja para petugas pajak yang lebih bersifat administratif, bersifat pasif dan tidak seperti biasanya: getol menegur bahkan memberikan sanksi. Setidaknya, tidak bosan-bosannya mengancam kepada para pembayar pajak yang terlambat, apalagi mengemplang. Perubahan irama kerja tak lepas dari sorotan publik dan aparat hukum yang memang sedang “menyisir” para oknum yang – secara sporadis – hampir eksis di setiap lini, di kantor pajak manapun.

Dengan perubahan sikap mental aparatur pajak yang melemah itu maka kontribusi pajak (PPn, PPh, PBB, cukai, bea masuk dan keluar, pajak migas) tak akan mencapai Rp 347 trilyun atau 12,5% dari total PDB (2005). Atau, tak akan mencapai Rp 409,2 triyun atau 12,3% dari total PDB (2006). Akan lebih kecil dari Rp 491 triyun atau 12,4% dari total PDB sebagaimana yang dicapai pada 2007. Juga tak akan lebih besar dari perolehan tahun 2008 yang nilainya mencapai Rp 658,7 triyun (13,3% dari total PDB). Dan sulit diharapkan untuk mengungguli perolehan pajak tahun 2009, yang nilainya mencapai Rp 725,8 trilyun atau 12,1% dari total PDB (2009).

Jujur kita harus sampaikan, perolehan pajak pertahun tersebut – jika kita amati perilaku oknum petugas dan atau pejabat pajak – sesungguhnya bukan nilai riil atau obyektif. Akan sangat mungkin jauhlebih besar dari pendapatan itu. Yang menjadi persoalan, penyakit korupsi dan atau kolusi di sekitar perpajakan belum berhasil dibersihkan.

Sistem pengawasan melekat yang dijalankan tidak efektif. Bagaimana menjalan fungsi pengawasan, sementara tangan-tangan yang bergerilya justru atasannya. Dan kini, sekalipun aparat penegak hukum bergerak, mungkinkah penyakitnya terobati? Sangat kecil kemungkinannya. Faktornya, minimalitas instrumen penertibannya, baik dari sisi peronilnya ataupun sarana dan prasarana penegakan hukum, di tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan bahkan lembaga pemasyarakaran. Ketidakberimbangan jumlah perangkat versus jumlah oknum yang menyeruak di seantero Nusantara, hal ini praktis akan memudarkan integritas penegakan hukum. Implikasinya sangat kontraktif bagi pendapatan negara dari sektor pajak. Lalu, bagaimana nasib pembangunan Indonesia ke depan?

Potret buram itu tentu harus dicari kerangka solusinya. Pendekatan normatifnya tak akan jauh dari penggenjotan sektor migas, pariwisata dan sektor pertanian. Sebuah upaya yang tentu harus kita hargai. Tapi, di sisi lain, sesungguhnya ada sektor yang harusnya bisa dirancang-bangun secara konstruktif. Itulah zakat.

Sejauh ini, sebagian muzakki menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola yang berbadan hukum jelas dari unsur pemerintah atau LSM. Bahkan, ditampung dan dikelola oleh lembaga independen yang relatif tak jelas badan hukumnya. Ada pula yang dikelola langsung oleh sang muzakki. Tak dapat disangkal, nilai zakat yang dikeluarkan para muzakki relatif belum mencerminkan angka obyektif sesuai dengan jumlah pembayar zakat ataupun total nilainya. Hal ini terkait dengan kualitas keberimanan sang pembayar zakat dan inilah tugas para pihak dalam membangun kesadaran muzakki. Dalam kerangka maksimalisasi penggalian nilai zakat kiranya menjadi urgen jika lahir UU yang relatif merangsang para muzakki. Di sinilah gagasan dan atau keinginan zakat menjadi faktor pengurang sungguh bermakna konstruktif.

Yang perlu kita catat, gagasan itu berangkat dari upaya bagaimana meningkatkan kualitas keberimanan dalam mengeluarkan zakat yang memang jelas instruksinya, bahkan sanksinya bagi yang mengingkari kewajibannya. Tapi, gagasan itu juga perlu diperkuat dengan sikap meringankan beban pengeluaran. Di mata kalangan religius, mereka akan lebih rela mengeluarkan zakat. Implikasinya, mereka tak akan mempersoalkan sikap “main mata” dalam urusan zakat. Inilah fenomena yang mereduksi pendapatan pajak. Sikap yang a nasionalis ini bisa dielimnir dengan konstruksi kebinjakan politik-ekonomi yang memasukkan zakat sebagai faktor pengurang pajak.

Konstruksi kebijakan itu – di atas kertas – akan menggiring kerelaan semua pihak yang menjalankan kedua kewajiban secara sekaligus. Dalam hal ini yang harus digaris-bawahi adalah keberhasilan menyiasati para pembayar pajak yang main mata atau motif lainnya. Juga, mendorong para muzakki karena ada nilai yang mengurangi beban itu. Totalitas keberhasilan menggalang pembayar pajak dan zakat sungguh menjawab krisis yang kini melanda sektor perpajakan. Inilah peran negara dan UU yang mampu melakukan terobosan atas persoalan pajak dan zakat yang kini kian dibutuhkan formasinya.
Sekali lagi, pengeluaran zakat sebagai faktor pengurang akan mendorong motivasi kejujuran para pembayar zakat dan pajak yang nilainya sungguh konstruktif untuk misi pengembangan dan atau pembangunan negara dan bangsa. Kejujuran itu sungguh mahal dalam “membeli” kepercayaan.

Bagaimana dengan masyarakat nonmuslim yang – secara prinsip agamis (Islam) – memang tak diwajibkan? Tentu, ketentuan itu diberlakukan bagi wajib pajak yang muslim. Namun, andaikan mereka juga melakukan pembayaran zakat sebagaimana ketentuan agamanya masing-masing, kiranya harus ada toleransi bagi pemerintah dalam mendudukkan persoalan pajak. Tapi, yang jauh lebih penting untuk dicatat adalah kesadaran sikap keberagamaan dalam membayar zakat akan menguatkan motivasi untuk membayar pajak. Inilah sikap yang harus disikapi secara positif-konstruktif oleh negara/pemerintah.

Akhirnya, gagasan zakat sebagai pengurang pajak perlu dirancang dan direspons positif sebagai tekad kebersamaan membangun negeri dan bangsa ini. Dan gagasan ini perlu dilihat danb disikapi secara proporsional, bukan masalah syariatisasi, tapi asas manfaat untuk seluruh komponen bangsa. Selamat datang gagasan yang kini sedang memasuk ruang sidang-sidang khusus di parlemen. Insya Allah, kita bersama-sama untuk misi kemasalahatan itu.

 

Jakarta, 22 April 2010
Salam AQ

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat