blog_img1

GTT Madura: Menanti Kebijakan Manusiawi

Perbulan hanya terima “gaji” sebesar Rp 250.000,-/bulan. Ada yang lebih kecil lagi: hanya terima Rp 170.000,-/bulan. Bahkan, ada juga yang jauh lebih kecil: terima Rp 42.000,-/bulan. Ada pula, yang tidak menerima hasil pengabdianya selama sekitar tiga bulan berturut-turut. Itulah nestapa guru tidak tetap (GTT) di belahan Pulau Madura, antara lain, di Bangkalan, Sampang dan Pamekasan. Tak bisa kita bayangkan, bagaimana para “pahlawan tanpa tanda jasa” itu bisa bertahan hidup, apalagi harus konsentrasi menjalankan tugas sucinya: mengajar dan mendidik.
Pendapatan para tenaga honorer itu layak harus kita perhatikan, bukan sekedar empati, tapi bagaimana memperjuangkan hak-hak kamanusiaannya. Bukan hanya persoalan hak keadilan yang bersifat politis, tapi di pundaknya terpanggul beban suci nan berat, karena negeri ini harus mampu menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas. Tak dapat disangkal, lembaga pendidikan menjadi tumpuan untuk agenda besar itu. Dan untuk mewujudkannya, maka tenaga insan pendidik – yang tercatat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) ataupun GTT – harus mendapatkan hak-haknya yang proporsional seiring dengan perkembangan zaman (tututan kebutuhan, minimal, mencapai 10 bahan pokok).
Kita perlu merenung, apa yang bisa diharapkan dengan tingkat pendapatan sekecil itu? Allah memang Maha Kuasa. Dengan serendah itu pendapatannya, ternyata mereka masih bisa bertahan hidup, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga anak-istrinya. Subhanallah. Itulah keaguangan-Nya.
Tentu, bukan hanya sikap religiusitas yang perlu kita ekspresikan sebagai rasa kagum kita. Yang jauh lebih mendasar dan harus diperjuangkan adalah bagaimana memperjuangkan hak-hak mereka agar – di satu sisi (kemanusiaan) – dapat terpenuhi. Di sisi lain – yakni misi pendidikan (membangun kecerdasan seperti yang diamananatkan UUD 1945 – juga tercapai. Karena itu, sikap politik kita adalah bagaimana mengekspresikan penghargaan itu kepada kepentingan GTT yang jumlahnya tidak kecil. Di Kabupaten Sampang saja, jumlahnya mencapai kisaran 3.200 orang. Dan di Pamekasan – sampai tahun 2009 – berjumlah sekitar 6.500 orang.
Kini, yang diperlukan adalah bagaimana berbagai elemen memperjuangkan hak-hak kemanusiaan kaum GTT, termasuk staf tidak tetap (STT). Dalam hal ini, pendekatannya tidak boleh hanya formalistik. Artinya, GTT tidak dikenal dalam politik anggaran, maka APBD tidak bisa menganggarkan. Pemerintah Kabupaten pun – karena terbentur PP No 48/2008 – pun tidak bisa mengalokasikan anggaran untuk GTT. Jika memang, kendala yuridis ini menjadi persoalan, maka mengapa DPRD bersama Pemerintah Kabupaten tidak mencari terobosan konstruktif untuk membangun misi kamanusiaan, apalagi terkait dengan amanat UUD 1945, yakni pencerdasan anak bangsa yang menjadi hak masing-masing individu.
Kiranya, perlu dijadikan pertimbangan mendasar, data faktual di lapangan, di tengah Madura masih kekurangan guru. Sebagai gambaran, di wilayah utara seperti Sampang, dalam satu sekolah, maksimal hanya memiliki tiga guru PNS. Artinya, kekurangan guru PNS ini teratasi dengan keterlibatan GTT.

Karenanya, sungguh ironis jika peran konsruktif GTT diabakan. Di sisi lain – dan hal ini kiranya bisa membangkitkan kecemburuan serius di tengah para GTT/STT – bahwa alokasi anggaran pendidikan yang berhasil dirancang DPR RI bersama Pemerintah (Departemen Pendidikan) untuk 2010 ini mencapai Rp 225,2 trilyun, naik Rp 15,69 trilyun dari alokasi anggaran tahun lalu.
Yang harus dicermati, dari anggaran yang cukup “memukau” itu, sebesar Rp Rp 127,8 triyun ditransfer ke daerah. Artinya, di samping teralokasi untuk seluruh Nusantara, masing-masing Dinas Kabupaten, di tengah Madura pun bisa berharap kucuran dana taktis dan lain-lain. Sekarang, bagaimana masing-masing Dinas Pemkab di Madura dapat menterjemahkan kebijakan anggaran Pusat itu. Dan tak kalah krusialnya adalah bagaimana masing-masing Pemkab dan DPRDnya berusaha semaksimal mungkin merespons positif atas nestapa kalangan GTT/STT. Inilah pentingnya empati kalangan birokrat dan politisi di tengah Madura yang harus diperlihatkan.
Jika tidak, maka bukanlah mustakhil, generasi Madura akan surut ke belakang karena kehilangan peran kaum GTT yang sejauh ini telah memberikan kontribusi konsruktif bagi dunia pendidikan di Pulau “Garam” ini. Perlu kita catat, di tengah minusnya perhatian itu, output pendidikan di tengah Madura relatif masih bisa dibanggakan. Sebagai gambaran obyektif sekaligus komparasi, tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) masih bisa membuat lega bagi para siswa dan tentu para guru dan orang tuanya. Bagaimana tidak, dengan minimnya perhatian terhadap kaum pengajar, tapi tingkat kelulusannya mencapai 98,794%. Ilustrasi yang terjadi di Sampang ini lebih tinggi dibanding tingkat kelulusan UN untuk seluruh Jawa Timur yanga mencapai 92,798%.
Sebagai orang Madura, kita memang layak bangga. Tapi, sebagai orang Madura pula sudah seharusnya sedih. Karena, kecilnya perhatian terhadap GTT atau guru pada umumnya bisa menjadi faktor destruktif bagi kepentingan pengembangan dunia pendidikan di tengah Madura. Inilah yang harus menjadi kepentingan bersama sebagai sesama keluarga besar Madura. “Ayo kita bangun kebersamaan, sinergis untuk menggolkan komitmen besar, agar kalangan GTT bahkan STT terperhatikan, sehingga akan lahir harapan besar: generasi Madura bukan hanya berhak mendapatkan kue pendidikan, tapi juga berkualitas. Era mendatang sangat kompetitif. Dan hanya sumber daya insani unggul itulah yang bakal memenangkan kompetisi itu, di kancah manapun. Itulah sebabnya, GTT Madura – kiranya para guru lainnya – terus menanti kebijakan manusiawi. Semoga segera terwujud. Amien.

Jakarta, 9 Mei 2010

Salam AQ

Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi Demokrat