blog_img1

Pilkada Sumenep: Momentum Pendidikan Politik Rasional

Oleh Achsanul Qosasi

 

Siap hadir pemimpin baru Kabupaten Sumenep. Itulah hasil pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) yang siap digelar pada 14 Juni mendatang. Yang perlu kita catat lebih jauh, apakah sekedar memenuhi sistem politik (amanat UU) semata?

Tentu tidak boleh. Pilkada langsung pertama di tengah Sumenep yang menelan anggaran sekitar Rp 20 milyar harus dijadikan tonggak pembelajaran politik bagi seluruh komponen masyarakat Sumenep. Bukan sekedar tingkat partisipasi, tapi bagaimana membangun kualitas keikutsertaan publik dalam pentas demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini – minimal – ada dua persoalan mendasar yang tak bisa kita sangkal karena merupakan keprihatinan mendalam dalam setiap peristiwa proses politik demokratis. Pertama, tingkat elitis (kandidat dan timnya) yang cenderung apriori dalam memaksakan kehendaknya. Targetnya satu: harus menang. Kedua – dari sisi publik pemilih – memandang pentas demokrasi sebagai kesempatan untuk “memeras” kocek kandidat.

Sebuah implikasi dari kedua sikap itu adalah akan munculnya sejumlah aksi yang sesungguhnya memprihatinkan. Pertama – dari sisi kepentingan kandidat – akan menampak sikap “jor-joran” dalam menghamburkan peraga dan lain-lainnya. Masih terkategori wajar jika langkahnya hanya sebatas persuasif. Dapat dimaklumi, karena proses politik pilkada langsung memang memerlukan solisit sosok kandidat. Tapi, satu hal yang sulit dihindari adalah kemungkinan sikap yang – harus kita catat – sebagai penoda demokrasi. Yaitu, kemungkinan permainan politik uang (money politics), meski dalam tingkat yang relatif terbatas (rendah).

Kita perlu mencatat, sekecil apapun tingkat “pembelian suara” itu menabrak UU, bahkan doktrin keagamaan kita. Pembelian suara tak ubahnya menyogok. Dan untaian hadis menegaskan, “Allah akan melaknat siapapun yang menyogok dan yang menerima sogokan”. Dari doktrin keagamaan ini, idealnya, pilkada langsung untuk memilih pemimpin baru Sumenep menjauhkan diri dari praktik-praktik nakal itu. Sebuah renungan, apakah kandidat dan atau timnya bisa bersikap teguh untuk memegang nilai-nilai konstruktif itu? Jawabannya kembali pada bagaimana motivasi kandidat dalam melangkah ke panggung kekuasaan. Jika ia berniat untuk “ibadah”, maka dirinya akan jalan sesuai prinsip atau koridor yang tentu tak akan rela menabrak rambu-rambu. Dengan niat itu pula ia – secara langsung atau tidak – tak akan larut para dinamika politik yang menggambarkan sikap masyarakat yang aji mumpung. Dalam hal ini sang kandidat harus mampu meyakinkan bahwa dirinya tak berani memberikan apapun yang bersifat material karena pemberiannya sama artinya akan menjebloskan dirinya pada posisi hutang atau mencari sumber-sumber pendanaan lainnya. Jika hal ini terjadi, maka – setelah berhasil naik panggung – dirinya akan lebih memprioritaskan kewajiban untuk mengembalikan hutang, atau memberikan fasilitas kepada para pihak yang telah “berjasa” pada dirinya. Akibatnya, kepentingan publik akan terabaikan. Sikap kekuasaan seperti ini tentu menyalahi amanat publik, UU bahkan keagamaan.

Sangat boleh jadi, pendekatan program itu terlalu ideal dan dinilai tidak rasional dalam pentas kompetisi. Dalam hal ini kiranya Panitia Pengawas (Panwas) harus mampu menegakkan disiplin aturan begaimana mengedepankan program sebagai proses politik yang diharapkan mampu mencerahkan kepentingan publik. Dengan pendekatan idealitas program, seluruh kandidat digiring untuk mengedepankannya. Mereka – secara keseluruhan – perlu menyadari urgensi program yang dapat memberikan makna konstruktif bagi kepentingan masyarakat. Apalah artinya santunan sesaat, tapi ke depannya justru meloyokan program.

Demi Sumenep yang lebih cerah (sejahtera), kiranya pendekatan program harus menjadi komitmen seluruh kandidat dalam menggapai kursi B-1 atau B-2 itu. Tanpa komitmen seperti ini, kiranya pilkada langsung di tengah Sumenep hanyalah sekedar menjalankan prinsip politik demokratis, tanpa menghasilkan karya besar sebagaimana yang dicita-citakan prinsip dan sistem demokrasi itu sendiri, padahal biaya politiknya tidak kecil, tingkat resiko (konfliktualitasnya) pun sangat rentan. Itulah realitas sosial-politik yang sering kita saksikan di berbagai wilayah.

Akhirnya, komitmen bersama seluruh kandidat bupati-wakil bupati menjadi kata kunci bagaimana mengedepankan pendidikan politik rasional. Yaitu, format politik yang bakal mampu membawa masyarakat Sumenep jauh lebih sejahtera lahir-batin. Dari komitmen bersama itu sesungguhnya seluruh kandidat mengajari pencerahan politik masyarakat yang mampu mengkritisi program para kandidat: mana yang rasional, membumi dan mana program yang fatamorgana atau janji semata. Inilah makna konstruktif dalam upaya mencerdaskan masyaraka dalam memahami kebutuhan pembangunan wilayah yang pada akhirnya menyangkut kepentingan seluruh komponen publik ini.

Selamat datang sang pemimpin visoner dan amanah. Inilah yang kita tunggu. Sumenep perlu potret pemimpin yang mampu mengubah wajah baru wilayah yang jauh lebih bersinar.
 

 


Salam AQ

 

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat