blog_img1

Nilai Pragmatis dan Strategis Beasiswa LPDP

Sejauh ini, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)  telah memberikan beasiswa kpd 25.326 mahasiswa, yang belajar di berbagai negara, dalam berbagai bidang, dan telah meluluskan 11.767 orang. Demikian data yang disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada 2 November lalu. Ini tentu saja salah satu program negara yang bagus, yang tidak dikelola secara terbatas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tetapi langsung oleh Kementerian Keuangan. 

Di seluruh dunia, sesuai hasil riset menyeluruh Institute of International Education, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2016, terdapat total 107.721 jenis beasiswa. Program beasiswa yang diselenggarakan oleh negara-negara maju mencapai 22.487 jenis dan yang diselenggarakan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia mencapai 81.372 jenis. Sementara itu, lembaga-lembaga nirlaba beserta afiliasi dari perusahan-perusahan tertentu mengelola 2.625 jenis, ketika beasiswa yang dikelola langsung oleh perusahaan mencapai 369 jenis. Terakhir, terdapat 868 jenis beasiswa yang dikelola oleh berbagai lembaga lainnya.

Secara umum, basis penyelenggaraan program beasiswa oleh pemerintah maupun swasta adalah konsep tentang human capital. Di sini, manusia terdidik diandaikan sebagai orang yang di dalam dirinya melekat rangkaian kebiasaan, pengetahuan dan sifat-sifat sosial dan kepribadian—termasuk di dalamnya kreativitas, di mana dengan semua itu mereka mampu bekerja sehingga berkontribusi atau menghasilkan nilai ekonomi tertentu.

Ketika beasiswa diberikan kepada mereka yang kuliah di luar negeri, manfaat atau nilai lebih dari human capital yang dikejar adalah kepemilikan akan berbagai perspektif internasional, pengetahuan-pengetahuan yang lebih maju dibanding jika berkuliah di dalam negeri, serta sikap dan keterampilan tertentu yang khas di kampus atau negara di mana peserta program kuliah. Dan tentu saja, manfaat lain yang tak kalah pentingnya adalah penguasaan bahasa dan adaptabilitas kultural atau cross-cultural understanding.

Semua inilah, dalam hemat saya, yang dimaksud oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dengan alasan strategis sekaligus pragmatis. Dalam konteks ini juga, pengelolaan human capital terkait dengan daya saing, yang bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan apalagi dengan Singapura, kita ketinggalan.

Sebagai contoh, dalam berbagai kesempatan beliau menyampaikan tentang terbatasnya kuantitas mahasiswa terbaik Indonesia yang berkuliah di berbagai universitas terbaik di luar negeri. Bahkan konon, ketika beliau di awal-awal menjabat sebagai Menteri Keuangan, hanya terdapat lima orang doktor alumni luar negeri di kementeriannya. Dan sejawatnya, Menteri Keuangan Malaysia, bercerita kalau dia mengirim 100 orang mahasiswa ke sekolah-sekolah ekonomi bergengsi di luar negeri. 

Dan kita tahu bahwa sebagai salah satu negara ekonomi berkembang, Malaysia punya tradisi kuat mengirim mahasiswa keluar negeri. Riset Anderson Market Analytics pada tahun 2015 menyebutkan bahwa dari survei terhadap 1.100 mahasiswa program sarjana di Malaysia, terdapat 72,2% yang ingin melanjutkan ke luar negeri. Negara tujuan mereka adalah Inggris Raya (49,5%), Amerika Serikat (16%), Australia (14,4%), Singapura (10,1%) dan India (1,9%).

Dari segi pembiayaan, 71,7% mahasiswa mengajukan pinjaman pendidikan dari National Higher Education Fund Corporation (PTPTN), di mana  56.1% berhasil mendapatkannya. Selebihnya, 24% dibiayai oleh keluarga, 15,2% dengan biaya pemerintah atau swasta dan selebihnya 4,7% dengan biaya sendiri. Hanya saja, dalam riset ini juga ditemukan kalau 70% lebih mahasiswa yang ingin kuliah ke luar negeri tersebut ingin mengajukan permanent resident supaya bisa bekerja dan tinggal di negara tujuan metreka.

Data dari Singapura bisa lebih mengejutkan lagi seperti terdapat dalam Laporan International Trade Administration (ITA) Singapura pada Maret 2020. Terdapat 23.715 orang mahasiswa Singapura yang kuliah di luar negeri berbanding dengan jumlah penduduknya yang hanya 6.209.660 jiwa. Artinya lebih dari 0.83% pendudukan tengah belajar di luar negeri. Salah satu negara yang menjadi tujuan kuliah adalah Amerika Serikat, di mana pada 2019 terdapat 4,632 orang siswa/mahasiswa atau sekitar seperlima dari keseluruhan warga Singapura yang belajar di luar negeri.

Sementara itu, di Singapura sendiri dilaporkan terdapat 70.000 orang siswa/mahasiswa dari berbagai belahan dunia. Ini tentu seiring dengan kenyataan bahwa Singapura telah menjadi sebuah negara kota dengan ekonomi termasuk yang terkuat di seluruh dunia, di mana pendidikan telah menjadi ladang ekonomi tersendiri.

Sehingga, sekali lagi, langkah Menteri Keuangan, yang sejak 2008-2009 mengelola dana abadi pendidikan dalam bentuk LPDP adalah langkah pragmatis sekaligus strategis. Meskipun tentu saja belum seperti Malaysia apalagi Singapura, untuk tahun ini, misalnya, terdapat 1.659 penerima beasiswa yang terdiri 784 laki-laki dan 875 perempuan. 54 orang akan melanjutkan studi tingkat doktoral spesialis, 1.282 jenjang orang di jenjang magister dan 323 orang untuk tingkat doktoral umum.

Catatan akhir saya, kasus penerima LPDP yang ternyata berbalik menjadi duri dalam daging bagi bangsa ini, yaitu pegiat hak asasi manusia (HAM), Veronica Koman Liau, tentu tak boleh terulang. Tanpa menyalahkan siapapun, screening terhadap calon penerima beasiswa harus memastikan adanya nasionalisme.

Kepemilikan akan nasionalisme oleh seseorang adalah konsep yang sah di seluruh dunia, yang pada dasarnya menunjukkan positioning dirinya sebagai makhluk politik dengan terikat dalam satu negara. Secara psikologis, keberhasilan mengidentifikasi diri secara sosio-politik adalah cermin dari kematangan seseorang dalam berpikir, bersikap dan bertindak, yakni terkait dengan kemampuan melakukan pilihan rasional dan moral.

Ketika seseorang mengakui diri sebagai warga negara, seperti dengan adanya kartu tanda penduduk, pada dasarnya dia mengikatkan diri dan mengakui kedaulatan negara. Ketika terdapat hal-hal yang ingin diperjuangkan, sebagai manifestasi demokrasi, harus tetap diperhatikan aspek penghormatan terhadap kedaulatan tersebut.

Menyampaikan pendapat serta memperjuangkan hak sendiri atau hak-hak kelompok adalah sah dan dijamin oleh konstitusi. Akan tetapi, tindakan yang menghina, merendahkan atau melecehkan kedaulatan dan simbol-simbol negara, adalah tindakan yang bukan saja tidak terpuji, tetapi menunjukkan ketidakmatangan psikologis, baik karena kegalauan identitas maupun ketidakmampuan bertindak cerdas, taktis dan strategis.*