blog_img1

Maulid Nabi Orang Madura

Pada Jumat, 30 Oktober, bersama para santri dan mahasiswa saya larut dalam peringatan Maulid Nabi. Salah satu rangkaian kegiatan adalah berziarah dengan diisi sholawat dan doa di komplek makam keluarga KH. Bahaudin Mudhary, ayah saya. Doa dipanjatkan bagi seluruh pendahulu, keluarga kami, dan bagi kebaikan seluruh umat Islam yang kini tengah menghadapi wabah Covid-19, di dunia dan akhirat.

Bagi orang Madura, Maulid Nabi Muhammad SAW setara dengan Idul Fitri. Dalam kondisi normal sebelum pandemi, perayaan Maulid yang disebut Molodan dalam bahasa Madura bisa dirayakan sebulan penuh. Selain dengan kegiatan komunal di masjid-masjid atau mushola, perayaan juga dilakukan di rumah-rumah warga, sekolah dan bahkan di kantor-kantor pemerintahan. Bahkan perayaan juga dilakukan oleh masyarakat Madura di perantauan.

Pada hari pertama, masyarakat biasanya memperingati secara komunal di masjid atau mushalla dalam kerangka hablum minallah, keterhubungan dengan Allah. Selain diisi dengan berbagai amalan shalawat,  doa-doa dipanjatkan secara bersama dipimpin seorang Kyai atau ustaz.

Seiring dengan itu, sebagai wujud rasa syukur dan suka-cita atas kelahiran Nabi Muhammad SAW dan ajaran yang dibawanya serta mengokohkan silaturrahmi, masyarakat secara bersama-sama menyantap hidangan yang sudah disiapkan. Hidangan tersebut, terutama berupa nasi dan berbagai lauk-pauk  yang terbuat dari ayam dan daging sapi, disiapkan oleh warga sendiri dan dikumpulkan di salah satu rumah yang terdekat dari masjid atau Mushalla. 

Secara khusus biasanya ada hidangan yang disebut kebuli, yang ditunggu-tunggu karena berharap akan  berkah. Kebuli sendiri adalah makanan yang terbuat dari hati ayam, dipotong kecil-kecil dan ditaruh dalam ketan. Sebagai representasi simbolis dari berkah, Kebuli disajikan dalam bentuk kerucut, yang disebut sebagai rasol. Dalam setiap kebuli terdapat sejumlah uang yang disebut selabet.

Selesai perayaan Molodan secara bersama, pada hari berikutnya dilakukan konjangan Molod atau kunjungan Maulid oleh warga dari rumah ke rumah secara bergantian. Ini merupakan simbol dari hablum minannaas, mempererat silaturrahmi di antara anggota masyarakat. Selesai acara amalan dan doa, tuan rumah dan para tamu akan makan bersama. Dari segi menu, biasanya disediakan buah-buahan dan kue kocor atau cucur dan dodol. Selesai kegiatan, setiap tamu mendapat berkat, makanan yang dibawa pulang. Kegiatan konjangan Molod bisa berlangsung sampai sebulan.

Meskipun merupakan tradisi yang turun-temurun, pernah juga diberitakan adanya perayaan Molodan yang dilakukan hanya satu kali saja di satu kampung, yaitu secara komunal di satu masjid. Alasannya adalah bahwa masjid di kampung tersebut tak kunjung selesai pembangunannya. Atas kesepakatan bersama, dana yang disiapkan masyarakat untuk perayaan Molodan di rumah masing-masing dialihkan untuk biaya perbaikan masjid. Molodan, karena sifat tradisional-komunal-nya sangat fleksibel sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Secara sosial, perayaan Molodan merupakan instrumen yang ampuh dalam menjaga hubungan horizontal. Jika ingin membuktikan ekualitas sosial orang Madura, inilah salah satu saat yang tepat. Baik ketika perayaan secara komunal di masjid atau mushalla maupun di rumah-rumah, perbedaan status sosial-ekonomi menjadi larut. Setiap anggota masyarakat duduk bersama, baik para pejabat, pengusaha atau pedagang, petani atau atau anggota masyarakat lainnya. Demikian pula, tak ada perbedaan standar amalan atau jamuan karena perbedaan kemampuan ekonomi. Tuan rumah menyiapkan jamuan sesuai kemampuan masing-masing dan tak ada fitnah setelah itu.

Dan perayaan Molodan tak hanya dilakukan di pulau Madura. Orang-orang Madura diaspora, yang hidup di perantauan, juga biasanya merayakan, baik di rumah-rumah maupun secara komunal sesuai dengan daya jangkau mereka secara jarak dan kemampuan. Ditambah dengan jumlah mereka yang tinggal di Madura, terdapat sekitar delapan juta orang Madura, baik yang tinggal di Indonesia maupun luar negeri. Selain di Jawa Timur, populasi Madura terbesar berikutnya ada di Kalimantan Barat.  

Selain aspek sosial-kultural, Molodan pada dasarnya menggerakkan ekonomi masyarakat. Indikasinya sederhana. Setiap kali menjelang Molodan, harga-harga komoditas pangan untuk perayaan biasanya naik, yang secara nasional terjadi terutama ketika Ramadhan dan Idul Fitri. Para pedagang buah, kebutuhan pokok dan sayur-mayur, misalnya, akan mengais lebih banyak rezeki menjelang dan dalam satu bulan perayaan. Dan rantainya bisa menjadi lebih panjang sampai pada para petani dan peternak.

Tentu ada saja yang berpikir negatif tentang tradisi ini. Misalnya dengan mengaitkan dampak ekonomis bagi anggota masyarakat yang “memaksakan” diri untuk mengadakan perayaan di rumah mereka. Dalam hal ini, hemat saya, adalah tugas pemimpin agama dan komunitas untuk memastikan bahwa tak ada standar “kemewahan” tertentu. Setiap rumah wajib dikunjungi terlepas dari apapun yang mampu disiapkan sang pemilik rumah.

Kini, di tengah pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir, Molodan tentu saja diselenggarakan dalam suasana keprihatinan dan sesuai protokol kesehatan. Shalawat dan doa-doa dipanjatkan supaya Allah mengangkat wabah. Dan silaturrahmi tradisional Molodan menjadi modal dan cara untuk memastikan ikatan-ikatan sosio-kultural di antara anggota masyarakat tidak putus dan peluang untuk saling membantu menjadi lebih besar.

Dalam hal ini, penting bagi kita untuk mengingat kembali kenapa peringatan Maulid Nabi mulai dilakukan sejak tahun ke-2 Hijriah. Selain untuk menghormati dan mengingatkan akan keteladanan Nabi Muhammad SAW, peringatan Maulid terkait dengan jihad dalam arti seluas-luasnya. Jika di masa lampau, seperti di zaman Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193), peringatan Maulid lebih bertujuan untuk menginspirasi semangat juang dalam mempertahankan agama Islam, peringatan pada tahun 2020 bisa menginspirasi jihad dalam rangka memenangkan “perang” melawan pandemi Covid-19 dan segala dampaknya.

Wallaahu a’lam bi al-Shawaab.