blog_img1

Membatalkan Kompetisi Liga 1

Jika saja keputusan terkait kompetisi Liga 1 telah dibuat dan diputuskan secara pasti sejak April 2020—apapun keputusannya—terutama klub dan pemain tidak akan sebingung sekarang.

Rencana Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) melanjutkan kompetisi Shopee Liga 1 pada 1 Oktober 2020 gagal. Izin kepolisian tak kunjung terbit. Sebab utama tentu saja pandemi COVID-19 yang masih terus menelan korban. Sebab lainnya konon karena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan digelar pada 9 Desember 2020.

Usaha PSSI sendiri sudah maksimal. Pada 13 Oktober, 18 tim peserta kompetisi dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) bertemu di Yogyakarta. Tujuannya tentu saja untuk untuk menggalang dukungan dan kesiapan. Di samping itu, menggulirkan kompetisi juga diandaikan akan membantu persiapan Tim Nasional Usia 20 (Timnas U-20) menghadapi Piala Dunia U-20 pada 20 Mei sampai 12 Juni 2021, di mana Indonesia akan menjadi tuan rumah.

Sebagai alternatif, PSSI telah menawarkan beberapa pilihan mengenai waktu dimulainya kembali kompetisi. Waktu paling dekat adalah 1 November 2020, 1 Desember 2020 atau paling lambat 1Januari 2021. Jika alasan krusial selain pandemi adalah Pilkada, pilihan tentu jatuh pada 1 Januari 2021. Sebagai penanggung-jawab utama keamanan dan kenyamanan sosial, bola kini berada di tangan kepolisian sebagai pihak pemberi izin.

Saya sendiri, amat memahami situasi dan kondisi ini. Namun, ada beberapa catatan dalam kacamata profesionalisme, baik bagi pemerintah, PSSI, klub dan masyarakat sebagai “konsumen” sepakbola.

Ketegasan

Pertama-tama, kita memerlukan ketegasan dalam pembuatan keputusan sejak awal. Tetapi ketegasan itu tentu saja tidak ujug-ujug, hanya karena sebab pikiran sesaat. Di sini perlu data akurat yang mendukung pengambilan keputusan. Jika sudah atas dasar data akurat dan kesepahaman, tak akan ada karut-marut jadwal seperti saat ini.

Mari kita lihat kompetisi di negara-negara Eropa. Sama halnya seperti di Indonesia, di mana-mana terjadi gonjang-ganjing mengenai kapan kompetisi yang terhenti dimulai kembali. Namun dengan cepat dan akurat pengurus liga, klub dan otoritas di setiap negara melakukakan kalkulasi dan sampai pada keputusan untuk memulai kompetisi dengan protokol kesehatan yang ketat. Hasilnya, kini kita sudah bisa menikmati liga Inggris, Spanyol Italia dan seterusnya.

Saya membayangkan jika saja keputusan terkait kompetisi Liga 1 telah dibuat dan diputuskan secara pasti sejak April 2020—apapun keputusannya—terutama klub dan pemain tidak akan sebingung sekarang.

Kita juga tak perlu meniru negara-negara Eropa dengan pilihan mereka untuk melanjutkan kompetisi. Dengan asumsi bahwa persoalan penanganan pandemi di Indonesia lebih berat karena berbagai sebab dibanding negara-negara lain, PSSI, penanggungjawab  liga, pemerintah dan klub bisa saja menghentikan kompetisi sama sekali. Sebab saat itu ada Keputusan Presiden (Keppres) No.12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Kegagalan untuk sampai pada keputusan yang tegas namun akurat berdasar kalkulasi data kini berdampak luas. Klub-klub, dengan harapan kompetisi akan dilanjutkan kembali, telah merevisi kontrak pemain. Akan tetapi, kompetisi ternyata terus diundur. Dan klub tentu saja tak bisa membatalkan kontrak pemain dengan alasan tak adanya izin penyelenggaraan.  Ada 2.590 pemain dan anggota tim official yang harus dipertimbangkan secara saksama.

Alasan klub untuk merevisi kontrak pemain juga tak bisa disalahkan. Berbagai pihak yang terkait dengan kelanjutan kompetisi sudah menyampaikan persetujuan mereka. Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB), PSSI, para sponsor, klub peserta dan para pemain sudah sama-sama setuju. Demikian pula, para supporter juga bisa dikatakan sudah legowo jika harus menonton dari rumah.

Ketika kini sudah diputuskan untuk penundaan lagi, sebagai warga negara kita tentu harus patuh. Rasionalisasi demi kebaikan bersama sebagai sebuah bangsa bukan sesuatu yang buruk. Harapan kita,  semoga klub dan para pemain bisa menyelesaikan persoalan kontrak dengan baik. 

Di samping itu, jika sampai 20 Oktober 2020 tak ada kepastian, saya menyarankan semua klub sepakbola yang terlibat dalam kompetisi resmi sebaiknya berhenti latihan bersama di lapangan. Sambil saling mendoakan tetap sehat, latihan dilakukan di rumah saja, alias training from home (TFH).

Dampak Ekonomi

Hal berikut yang juga harus masuk pertimbangan adalah dampak ekonomi penundaan atau bahkan pembatalan kompetisi Liga 1.  Sebab, sebagaimana halnya di berbagai belahan dunia—terutama di negara-negara di mana sepakbola sangat populer dan memiliki sistem kompetisi reguler—sepakbola di Indonesia juga telah menjadi industri olahraga tersendiri. Di dalamnya bukan hanya para pemain, official, supporter dan sponsor, tetapi lebih luas juga jutaan anggota masyarakat yang terlibat langsung atau tidak langsung.

Berdasarkan temuan Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM Universitas Indonesia (UI), arus ekonomi Indonesia akan merugi paling kurang 3 triliun rupiah dalam satu tahun jika kompetisi gagal diselenggarakan. Sementara jumlah lapangan pekerjaan riil yang terkait langsung mencapai 24 ribu. Itu belum termasuk arus pergerakan orang, barang dan jasa—langsung dan tidak langsung—dengan adanya kompetisi. Jika satu tim memiliki 10 ribu supporter fanatik saja, misalnya, akan ada 180 ribu supporter yang menggerakkan ekonomi atas nama sepakbola.

Dampak ekonomi lain yang juga wajib dihitung adalah potensi peralihan (shifting) antusiasme dan kebiasaan menonton sepakbola di Indonesia. Sebagai sebuah pilihan mengisi waktu luang atau hiburan, berdasarkan data di laman liga-indonesia.id, sampai selesainya putaran pertama (minggu ke-17), total jumlah penonton mencapai 1.548.994 orang di mana rata-rata penonton per pertandingan adalah 10.757 orang. Mereka semua adalah captive-market yang harus diperhitungkan secara ekonomi dan bisa berubah dalam hal perspektif, sikap dan perilaku.

Bisa saja kita katakan bahwa sebagian penikmat sepakbola liga-liga Eropa, misalnya, juga adalah penikmat sepakbola nasional. Demikian pula sebaliknya. Namun dalam psikologi kita belajar bahwa perspektif, sikap dan perilaku terbentuk karena kebiasaan. Bisa jadi, ketika kompetisi bisa digulirkan kembali, rasanya sudah tak sama. Sehingga, singkat kata, tetap saja berbagai cara mesti terus diupayakan supaya sepakbola Indonesia tak kehilangan penonton di tanah air sendiri.**