blog_img1

Komunisme dan Kearifan

 

Saat ini menjelang 30 September 2020 dan itu mengingatkan saya pada satu kebiasaan. Dulu saya tinggal di Pondok Gede, dekat Lubang Buaya. Setiap ada tamu dari Madura saya antar melihat Museum dan Diorama Pahlawan Revolusi.

Saya tidak peduli adanya rekayasa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) yang konon dilakukan Orde Baru. Hal yang pasti, di negeri ini pernah terjadi pembunuhan para jenderal secara keji, yang dilakukan di hadapan keluarganya.

Oleh karena itu, seberapa persen pun kebenarannya, film G30S/PKI  bagi saya tetap menceritakan satu episode dari sejarah kelam bangsa ini. Jika film itu dirasa tidak sepenuhnya sesuai dengan kejadian yang sebenarnya, tidak perlu juga diperdebatkan. Sebab film itu dibuat tahun 1984, di saat negeri ini diperintah oleh rezim yang kita tahu baik dan buruaknya. Mungkin saja itu semua dilakukan agar kita cinta tanah air.

Itu sebabnya saya masih menonton film G30S/PKI jika ada stasiun televisi yang menyiarkan. Bagi saya itu adalah film pembunuhan yang (mungkin) dibungkus pengkhianatan. Film itu menjadi media pembelajaran tentang kehidupan.

Ini seiring dengan ajaran agama. Jika memang terjadi pengkhianatan, misalnya, sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim memberitahu kita: “Kelak, di hari kiamat, setiap pengkhianat akan membawa bendera yang dikibarkannya tinggi-tinggi sesuai dengan pengkhianatannya. Ketahuilah, tak ada pengkhianatan yang lebih besar daripada pengkhianatan seorang penguasa terhadap rakyatnya.” 

Kini, ketika negeri ini dan seluruh dunia tengah dilanda wabah yang belum kunjung usai—bahkan belum diketahui apakah akan betul-betul ada penangkalnya—di sini terdapat hikmah. Peristiwa dan film G30S/PKI bisa dijadikan cermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga untuk seterusnya kita bisa saling menghormati, menghargai dan bekerjasama untuk keluar dari krisis.

Tentang isu PKI sendiri, yang kini seringkali dimunculkan setiap kali suhu politik memanas atau ketika satu kelompok atau oknum tokoh ingin dikenal dan mendapat tempat, sudah waktunya kita lebih arif dan bijak. 55 tahun telah berlalu sejak peristiwa itu terjadi (atau disejarahkan terjadi), tak ada satupun hasil riset ilmiah yang menunjukkan kalau PKI masih hidup dan memiliki gerakan terorganisir. 

Berbanding lurus dengan isu tentang kebangkitan PKI, komunisme sebagai ajaran yang menjadi dasar ideologis PKI sudah tidak laku di seluruh dunia. Sekali lagi, periksa saja literatur politik atau hasil riset politik di seluruh dunia. Ketimbang memilih komunisme, sebagian besar penghuni bumi lebih berminat pada politik yang dihidupkan oleh kapitalisme.

Salah satu alasan penolakan yang paling fundamental terkait kecenderungan alamiah manusia sendiri. Jika kita memilih menjadi komunis tulen dan mendambakan satu masyarakat komunis, misalnya, apakah kita mau untuk hidup dalam prinsip bahwa “setiap orang memberi sesuai kemampuannya dan setiap orang mendapat sesuai dengan kebutuhannya?”

Apakah kita bersedia digaji negara hanya sesuai dengan jumlah kebutuhan sesuai tanggungan, meskipun punya keterampilan atau ijazah yang tinggi, ketika tetangga kita dengan tanggungan yang lebih banyak namun dengan keterampilan atau tingkat pendidikan yang lebih rendah digaji lebih banyak? Apakah mungkin kita ini bisa hidup sama-sama miskin, sama-sama susah atau sama-sama berada, kecuali bahwa di situ ada tangan besi negara?

Dalam literatur kita baca bahwa baik komunisme maupun kapitalisme sama-sama berpenyakit. Penyakit komunisme adalah penyamarataan manusia dengan menafikan kompetisi. Sementara penyakit kapitalisme adalah penyamarataan manusia dengan menafikan koperasi. Agama-agama—seperti Islam—memberi ruang untuk kompetisi dan menekankan koperasi. Itu disebut dengan tawassut atau jalan tengah.

Negara kita, seperti tercermin dalam UUD 1945, juga demikian. Setiap warga negara memiliki hak politik sebagai warga negara dan hak ekonomi untuk memiliki kehidupan yang layak. Dalam hal ini, bukan negara yang menentukan siapa memilih apa, mengerjakan apa dan dibayar berapa. Itu semua adalah pilihan individual. Akan tetapi, dalam rangka mewujudkan pilihan tersebut negara wajib memfasilitasi dengan berbagai pranata sosial dan menjadi wasit. Dan bagi warga negara yang tidak mampu—karena faktor alam dan lainnya—negara wajib turun tangan lebih jauh membantu.

Lalu bagaimana dengan negara seperti Tiongkok, Rusia atau negara-negara yang menjalankan welfare state—negara kesejahteraan—yang secara langsung menyatakan diri atau secara konseptual menjalankan komunisme atau sosialisme? Patut diketahui bahwa tak satupun dari semua negara itu yang betul-betul menjalankan komunisme tanpa modifikasi.

Sederhananya: kemampuan, keterampilan, status pendidikan atau hasil kerja setiap warga negara dihargai. Siapapun boleh maju atau berkembang dan mendapatkan penghargaan dan imbalan untuk itu. Siapapun boleh kaya, tetapi tidak terlalu timpang dan menyusahkan orang banyak. 

Di tingkat negara, memang masih ada negara berlabel komunis dan cenderung otoriter dan memiliki sistem politik yang tertutup. Russia dan Tiongkok ada dua negara terbesar yang menganut ini. Akan tetapi, perlu diingat, kedua negara ini juga telah menjadi negara kapitalis, menganut sistem pasar dan seterusnya.

Hanya saja, ketika pada umumnya di negara-negara kapitalis peran negara dalam mengelola ekonomi kecil, dalam negara-negara dengan sistem politik tertutup ini peran negara justru besar. Bahkan tetangga kita, Singapura, yang menjadi salah satu pusat kapitalisme dunia, menganut model ini, yang biasa disebut sebagai kapitalisme negara

Pertanyaan berikutnya, kenapa Marxisme, yang telah dijadikan dasar dan ‘dipelintir’ menjadi komunisme boleh dan bahkan perlu untuk dipelajari? Di sini kita bica tentang kebutuhan ilmiah sekaligus konsep kesejahteraan.

Pertama, Marxisme adalah salah satu perspektif dalam filsafat, sosiologi, pendidikan dan bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Sebagai sebuah perspektif—atau sederhananya alat bantu atau kacamata ilmu pengetahuan—Marxisme bermanfaat untuk menganalisis apapun yang berdasar pada kapitalisme. Dengan adanya perspektif ini, ilmu-ilmu sosial bergerak lebih maju, semakin kaya dan bermanfaat.

Kedua, bagi kehidupan ekonomi dan politik yang berorientasi pada kesejahteraan, Marxisme bermanfaat menjinakkan penyakit bawaan kapitalisme yang menjadi ideologi ekonomi dan politik di sebagian besar negara di permukaan bumi ini. Seperti dijelaskan di atas, kehidupan yang melulu berdasarkan kompetisi akan menafikan koperasi atau kerjasama yang juga merupakan salah satu kebutuhan dasar sosial. Namanya bisa saja diganti menjadi ekonomi kerakyatan, politik musyawarah-mufakat dan sebagainya.

Terakhir, bagaimana sikap kita terkait korban sekaligus pelaku dalam peristiwa G30S/PKI? Tentu kita tak bisa memutar ulang sejarah dan memperbaikinya. Bahkan jika berpikir pesimis, tak ada gunanya larut dalam  ironi sejarah seperti kata Voltaire, filosof Perancis, bahwa “satu-satunya pelajaran yang didapat dari sejarah adalah bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah”.

Secara sosio-kultural, ini adalah tahun ke-55 untuk saling memaafkan. Meskipun, seperti yang pernah dialami Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid ketika meminta maaf pada Pramoedya Ananta Toer,  ada saja yang tidak bersedia memaafkan. Seiring dengan itu, secara sosio-politik, ini adalah momentum ke-55 untuk penyegaran pikiran, cita-cita dan laku politik kita dalam proses demokratisasi. Politik yang berbahan bakar politik identitas dan kekerasan hanya akan menorehkan luka-luka baru, ketika luka-luka lama belum tentu sudah benar-benar sembuh.