blog_img1

Ragam Soal Dalam Staf Ahli Direksi BUMN

Sejak dikeluarkan pada 3 September 2020, Surat Edaran Nomor SE-9/MBU/08/2020 tentang Staf Ahli Bagi Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) banyak menuai kecaman. Berita-berita berikut pandangan berbagai tokoh menghiasi media massa mainstream dan media sosial. Cukup ketik ‘staf ahli direksi BUMN’ di mesin pencari Google, maka kita akan diantarkan pada berbagai konten tersebut.

Jika diamati secara saksama, memang terdapat beberapa persoalan mendasar terkait penerbitan surat edaran tersebut. Selain persoalan good corporate governance—karena BUMN adalah badan usaha  yang bahkan sudah banyak di antaranya menjadi perusahaan publik (Tbk)—penggunaan medium surat edaran (SE) oleh kementerian serta ketentuan yang berubah-ubah menjadi sorotan utama. Belum lagi di tengah pandemi saat ini, kesan atau kecurigaan akan adanya ‘bagi-bagi jatah’ dan mobilisasi politik BUMN menjadi semakin mengental.

Kita mulai dari perubahan peraturan. SE yang ditandatangani Menteri BUMN tersebut mengubah ketentuan sebelumnya yang diterbitkan di era menteri sebelumnya, yakni Surat Edaran Nomor SE-04/MBU/09/2017 tentang Larangan Mempekerjakan Staf Ahli, Staf Khusus dan/atau Sejenisnya. SE tahun 2017 ini sendiri juga mengubah SE sebelumnya yaitu Surat Edaran Nomor S-375/MBU.Wk/2011 yang dikeluarkan pada tanggal 5 Desember 2011.

Pelarangan yang paling tegas—sehingga terdapat sandaran yang lebih mudah dipedomani—adalah SE yang diterbitkan Menteri BUMN pada 2011. Dalam SE tersebut sama sekali tidak diberi peluang untuk adanya staf ahli, staf khusus dan sejenisnya. Peluang kemudian mulai dibuka kembali dalam SE tahun 2017.

Meskipun dalam judul dan isi melarang mempekerjakan staf ahli atau apapun namanya, dalam SE tahun 2017 ini terdapat pernyataan yang membolehkan dengan syarat dan ketentuan tertentu, bahwa “Larangan sebagaimana dimaksud pada butir 1 tidak berlaku bagi pengangkatan tenaga ahli untuk tugas-tugas yang bersifat ad hoc (personal konsultan) untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, untuk jangka waktu tertentu, dengan output tertentu, selama dimungkinkan berdasarkan ketentuan anggaran dasar.”

Dalam SE tahun 2020, keran dibuka secara resmi, meskipun dengan embel-embel pembatasan jumlah hanya lima orang dan gaji yang tak lebih dari 50 juta rupiah. Pada bagian A dan B dinyatakan bahwa ini adalah untuk mendukung tugas direksi, di mana staf ahli bertugas melakukan analisis, memberi masukan dan pertimbangan atas permasalahan dalam perusahaan. Staf ahli juga dinyatakan harus independen dan kompeten dalam bidangnya.

Padahal, jika alasannya adalah adanya pelanggaran oleh direksi, semestinya diambil tindakan hukum. Kalau terjadi pelanggaran dalam pengangkatan staf ahli, misalnya, pemerintah sebagai pemegang saham tunggal atau mayoritas bisa mengintervensi melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun, dengan adanya SE tersebut, ternyata bukan tindakan hukum yang diambil tetapi justru mengadopsi pelanggaran tersebut ke dalam sistem, katakanlah semacam legalisasi. 

Berdasar bagian A dan B dalam SE tahun 2020 ini, kita sampai pada persoalan kedua, bahwa pengangkatan staf ahli bagi direksi pada dasarnya  mendiskreditkan kualifikasi direksi itu sendiri. Sebab posisi direksi dalam direksi BUMN pada dasarnya adalah jabatan profesional, sehingga dengan sendirinya siapapun yang duduk di situ haruslah orang yang ahli dalam menjalankan tugasnya.

Di samping itu, bersama-sama dengan direksi dalam setiap BUMN terdapat puluhan atau ratusan karyawan yang memang ahli dalam bidang usahanya. Bahkan dengan rata-rata BUMN telah beroperasi dalam jangka waktu yang lama, adanya kebutuhan ad hoc pun akan sangat terbatas. Sebab dalam setiap BUMN sudah pasti ada sistem atau mekanisme yang ajeg, sehingga pengangkatan staf ahli yang dipekerjakan dalam jangka waktu yang panjang menjadi mubazir. 

Logika pengangkatan staf ahli direksi menjadi lebih kacau lagi jika jabatan staf ahli diberikan pada mereka yang berlatar belakang politik, bukan keahlian sesuai bidang usaha BUMN, atau terkoneksi dengan partai atau tokoh politik tertentu. Jika hal ini yang terjadi, maka itu menjadi justifikasi bahwa pemerintah—melalui kementerian BUMN—tidak menjalankan good corporate governance secara penuh. Dalam hal ini kita juga harus mencatat bahwa menteri adalah lebih sebagai sebuah jabatan politik ketimbang profesional.

Hemat saya, oleh karena itu, Menteri BUMN harus lebih berani untuk independen. Paksaan politik—jika bukan godaan—harus mampu dikelola secara lebih arif dan bijaksana. Sebab bukan rahasia lagi jika di sini terdapat interdependensi, yakni kesalingterkaitan kepentingan antara kekuatan politik (ruling parties), pemegang jabatan politik dan pemegang kekuasaan ekonomi.    

Persoalan ketiga terkait SE Kementerian BUMN tentang staf ahli direksi ini adalah aspek legal-formal. Pertama, BUMN merupakan entitas hukum tersendiri yang memiliki sistem dan mekanisme tersendiri dalam beroperasi. Pemerintah, baik sebagai pemegang saham penuh maupun mayoritas, pada dasarnya hanya boleh melakukan intervensi—jika bisa dibahasakan semikian—dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Di sini, Kementerian BUMN dikatakan gagal membedakan antara government action atau tindakan kepemerintahan dan corporate action atau tindakan korporasi. Penerbitan surat edaran oleh kementerian merupakan tindakan kepemerintahan ketika urusan tenaga ahli untuk direksi adalah urusan korporasi. Artinya, dalam hal ini telah terjadi konflik karena intervensi yang salah, yakni adanya campur-tangan pemerintah secara langsung.  

Kedua, surat edaran bukanlah produk hukum—tidak seperti Peraturan Menteri—sehingga ia tak lebih daripada sekadar himbauan dari  pemegang saham atau pemegang saham mayoritas. Oleh karena itu, di sini ada dua kemungkinan. Dengan asumsi bahwa Kementerian BUMN menyadari aspek legal-formal ini, penerbitan SE lebih sebagai langkah politik untuk menenangkan publik. Atau, kemungkinan yang lebih menyedihkan, penerbitan SE ini hanyalah sekadar mengikuti tradisi sebelumnya yang sudah salah. 

Persoalan keempat yang saya catat adalah bahwa adanya pandemi saat ini semestinya menjadi momentum perubahan dalam pengelolaan BUMN. Baik kekuatan politik yang berkuasa, pemegang jabatan politik, serta pengemban amanah kekuasaan ekonomi harus berpikir, bersikap dan bertindak dalam balutan keprihatinan akan situasi bangsa dan negara, sehingga semua BUMN seyogyanya difasilitasi untuk tumbuh dan berkembang demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat sebagai pemegang saham utama.

Di sini, oleh karena itu,  harus disisakan di hati—sedikit atau banyak—empati, kepedulian sosial, semangat gotong-royong dan nasionalisme. Sebab, jika tidak, cepat atau lambat bangsa ini akan bergerak ke arah resesi politik dan ekonomi. 

Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

___

Artikel juga tayang di Akurat.co