blog_img1

Tanggung Jawab Kemerdekaan

"Kita tak akan pernah sama, tapi kita pasti bisa bersama. Perbedaan itu ada bukan untuk dipermasalahkan, tapi untuk kita rayakan.”

Oleh karena itu, makna hakiki kemerdekaan adalah kebebasan untuk menjadi mandiri: menjadi diri sendiri, berbudaya sendiri, beragama sendiri, memilih profesi sendiri dan seterusnya. Negara hadir, dengan semua pranata sosialnya, untuk memastikan bahwa hak-hak setiap warga negara dan kelompok sosial terjamin dan bahwa setiap irisan sosial yang memerlukan peraturan perundang-undangan tak terbengkalai dan berujung sebagai ladang konflik.

Demikian pula, kemerdekaan benar-benar dimiliki sebuah negara jika ia berdaulat penuh secara politik, ekonomi, budaya dan aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Bahwa antar negara terdapat interdependensi atau kesalingtergantungan adalah hal yang tak bisa ditolak. Akan tetapi, interdependensi yang mencederai kedaulatan adalah independensi, ketergantungan dengan posisi tawar yang lemah, yang sejatinya merupakan bentuk keterjajahan.

Untuk saat ini, jika diri kita ditanya mendalam dan  berulang-ulang, “Sudahkah bangsa dan negara ini benar-benar merdeka?” Jawabannya boleh jadi akan beragam dan berubah-ubah. Secara patriotis-simbolik semua atau mayoritas kita akan menjawab “Sudah!” Sebab saat ini kita sudah bebas merayakannya di manapun kita berada, kecuali mungkin di wilayah konflik seperti pedalaman Papua karena alasan keamanan. Tak akan ada negara lain yang mencegah atau melarang.

Akan tetapi, kemerdekaan dalam arti semata-mata sebagai kebebasan melakukan perayaan adalah semu. Kemerdekaan yang sekadar berbentuk upacara atau pemasangan simbol-simbol adalah amat naif.

Kemerdekaan yang hakiki dijelaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Indikasi pertama—dan ini yang paling umum dirayakan—adalah bahwa sebagai sebuah negara dan bangsa kita sudah terlepas dari penjajahan fisik. Tak ada lagi negara yang mengklaim bahwa rangkaian kepulauan yang kini bernama Indonesia adalah milik atau berada dalam pemerintahan mereka.

Imperialisme dan kolonialisme fisik telah lama usai. Hampir semua kelompok sosial yang menginginkan sebuah negara di seluruh belahan dunia telah berhasil memilikinya. Atau paling kurang, jika bukan dalam bentuk sebuah negara yang berdaulat penuh, kelompok-kelompok sosial yang mendiami wilayah tertentu telah memiliki otonomi luas yang menjamin kemerdekaan mereka dalam mengurus diri sendiri.

Namun dalam alinea pertama terdapat frase perikemanusiaan dan perikeadilan. Seiring dengan itu, pada alinea kedua kata “merdeka” dirangkai dengan kata “bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Dan dalam Alinea keempat merupakan tugas negara untuk melindungi seluruh rakyat dan wilayah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Dalam usia yang sudah genap 75 tahun ini, hemat saya, sesuai amanah UUD 1945, tugas utama setiap anak bangsa adalah menyikapi dan berbuat sesuai kemampuan dan bidang masing-masing untuk mengisi kemerdekaan. Perikemanusiaan, perikeadilan, kemakmuran dan kesejahteraan adalah isi kemerdekaan yang masih harus terus diperjuangkan dan tak akan pernah diberikan cuma-cuma oleh siapapun atau oleh negara manapun.

Dan untuk itu kita tak bisa berkilah bahwa sesuai Pembukaan UUD 1945 itu semua adalah tugas “Pemerintah Negara Indonesia”. Selain bahwa kemampuan sebuah pemerintahan negara bukan tak terbatas, sistem demokrasi yang menjadi pilihan bangsa ini hanya akan berjalan ketika terjadi dialektika yang kuat dan kontinu antara warga negara yang berkeadaban (civilians) dengan para penyelenggara pemerintahan, aparatur sipil maupun aparatur militer.

Di satu sisi, warga negara yang duduk sebagai penyelenggara pemerintahan dan aparatur negara, yang pada hakikatnya hidup dari pajak dan penghasilan negara lainnya, merupakan pengemban amanah yang wajib bertanggung jawab atas amanah tersebut. Di sisi lain, pertanggungjawaban amanah hanya akan terwujud memadai jika warga sipil sebagai pemberi amanah bertindak dalam koridor kebijakan yang dibuat penyelenggara negara serta di saat bersamaan menjalankan fungsi pengawasan demi adanya  checks and balances.

Berangkat dari kerangka pemikiran demokrasi ini, kualitas perikemanusiaan, perikeadilan, kemakmuran dan kesejahteraan—sebagai isi kemerdekaan—hanya akan terwujud dalam suatu kegotong-royongan. Setiap warga negara harus saling membantu, baik antar sesama dalam satu relasi atau jaringan sosial  maupun dalam hubungan dengan para penyelenggara dan aparatur negara.

Tetapi ini adalah kerangka teoritis sekaligus sebagai sebuah cita-cita bersama sebelum dan setelah kemerdekaan. Kita tahu, misalnya, meskipun sudah 75 tahun merdeka, ketimpangan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat—di mana di dalamnya melekat perikemanusiaan dan perikeadilan—masih terjadi dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Maret 2020, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur dengan Rasio Gini adalah pada angka 0,381. Ini meningkat 0,001 poin dibandingkan dengan angka pada September 2019, yakni sebesar 0,380 dan menurun 0,001 poin dibanding dengan Maret 2019 yang sebesar 0,382.

Seiring dengan itu, Rasio Gini perkotaan pada Maret 2020 sebesar 0,393, yakni naik dibanding Rasio Gini September 2019 yang sebesar 0,391 serta Rasio Gini Maret 2019 yang sebesar 0,392. Sedangkan rasio gini di daerah pedesaan pada Maret 2020 sebesar 0,317, yakni naik dibanding Rasio Gini pada September 2019 yang sebesar 0,315 dan sama dengan Rasio Gini pada Maret 2019 yang sebesar 0,317.

Contoh lain betapa kemerdekaan ini harus dimaknai dan diisi dengan lebih baik adalah persoalan gizi buruk. Negara yang merdeka, maju, makmur dan sejahtera tak akan mengalami ini. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 terkait anak-anak menunjukkan tingkat obesitas mencapai 8 persen, tingkat kekurangan gizi (wasting) sebesar 10,2 persen dan tingkat kegagalan pertumbuhan tubuh dan otak  (stunting) mencapai 30,8 persen. Dan Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) yang dilakukan di 34 provinsi pada 2019 menunjukkan betapa angka stunting pada balita mencapai 27,67 persen.

Sementara itu, di tengah wabah Covid-19, kasus-kasus gizi buruk tentu akan meningkat. Perkiraan UNICEF, jumlah anak yang mengalami wasting dan stunting di seluruh dunia akan meningkat 15 persen (atau 7 juta) pada tahun pertama pandemi Covid-19. Cara hitungnya adalah bahwa setiap satu persen penurunan produk domestik bruto (GDP) secara global akan menaikkan jumlah kasus gizi buruk sebanyak 0,7 juta.

Kembali pada cita-cita demokrasi negara dan bangsa ini, bahwa harus terwujud perikemanusiaan, perikeadilan, kemakmuran dan kesejahteraan, alangkah baiknya jika di hari-hari peringatan kemerdekaan ini bukan lagi simbolisasi dalam bentuk seremoni dan basa-basi yang menonjol. Segenap penyelenggara pemerintahan dan aparatur negara, dengan segala sumber daya yang telah dikuasakan oleh rakyat, harus berpikir dan bertindak lebih produktif dan visioner daripada sekadar sebagai penyalur atau pengawas bantuan sosial.

Sementara setiap warga negara, dalam momentum bencana ini, harus menyadari bahwa makna kemerdekaan bukanlah sekadar perlombaan-perlombaan atau perayaan. Kemerdekaan itu justru bermakna sebagai kebebasan dalam berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga dan lingkungan sosial. Kemerdekaan semestinya menjadikan setiap diri mandiri dan bermartabat sehingga tak menjadi beban bagi siapapun. 

Allaahu a’lam bi al-shawaab.

 

____
Dipublish juga di 
https://akurat.co/news/id-1202318-read-tanggung-jawab-kemerdekaan