blog_img1

Gerakan ABCD untuk Pemulihan Ekonomi

 

Agus Kholik, warga Dusun Paten, Desa Tridadi, Sleman, Yoyakarta, menjadi pahlawan bagi warga (Kompas, 4/8/20). Bermula dengan mengajak beberapa korban pemutusan hubungan kerja (PHK), tersebab anjloknya kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19, Agus merintis pembuatan wastafel portabel menggunakan sistem pedal.

Konon, proses produksi wastafel ini tidak membutuhkan keahlian khusus dan bahan serta peralatan mudah didapat. Kalaupun ada bagian yang memerlukan keterampilan khusus, itu hanya untuk mengelas rangka. Singkat kata, proses produksi bisa dilakukan oleh orang kebanyakan dan tidak memerlukan tempat atau lokasi khusus. 

Sejauh ini, dengan satu jenis usaha ini, Agus sudah bisa memberikan pekerjaan dan penghasilan tambahan untuk kurang lebih 15 orang, yang sebagian besar adalah warga kampungnya dan lainnya dari kampung sekitar. Bahkan di antara mereka ada yang menyatakan kalau penghasilan mereka kini lebih besar dibanding dari pekerjaan sebelumnya.  

Agus sendiri menyebut apa yang dilakukannya sebagai kegiatan atau gerakan komunitas. Artinya, gerakan ekonomi yang padat karya, terbuka dan berbasis semangat gotong-royong ini betul-betul diniatkan sebagai lembaga ekonomi dengan memanfaatkan aset sumber daya manusia dan bahan serta peralatan yang tersedia atau mudah diakses oleh dan di lingkungan komunitasnya. Itu sebabnya, apa yang dilakukannya mudah diterima banyak orang dan bisa dijalankan.

Adanya pionir gerakan ekonomi seperti Agus, oleh karena itu, tak cukup hanya digembar-gemborkan sebagai teladan, tetapi harus betul-betul dijadikan model dan diamplifikasi oleh pemerintah di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia. Jika satu desa atau kelurahan punya satu saja unit usaha swadaya unik semacam produksi wastafel portabel, maka akan terdapat 83.931 unit usaha sesuai dengan jumlah wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia berdasar data Badan Pusat Statistik 2018.

Dalam ranah disiplin pengembangan masyarakat, apa yang dilakukan Agus—dan boleh jadi belasan, puluhan, ratusan atau bahkan ribuan Agus yang lain—adalah salah satu bentuk sederhana dan bisa menjadi cikal-bakal dari Asset-based Community Development (ABCD) atau pengembangan komunitas berbasis aset atau potensi lokal. Premis utamanya adalah bahwa setiap komunitas dapat mengembangkan diri secara ekonomi dengan cara mengidentifikasi dan memobilisasi aset-aset yang dimiliki—yang seringkali terabaikan atau tidak dikenali. 

Gerakan ABCD berbeda dari gerakan pengembangan masyarakat yang lebih umum dikenal, yakni Deficit-Based Approach (DB). Ketika DB cenderung untuk fokus pada identifikasi dan penanganan kebutuhan dan persoalan di tengah masyarakat atau membantu masyarakat untuk menghindari berbagai dampak  ekonomi, ABCD sebaliknya bermula dari identifikasi berbagai sumber daya, potensi atau kekuatan yang bisa dikelola dan menjadi benteng pertahanan ekonomi.

Kecenderungan gerakan dan bantuan pemerintah dalam pemberdayaan ekonomi lokal selama ini, misalnya, pada dasarnya berbasis pendekatan defisit. Bantuan, subsidi atau pengadaan sarana-prasarana didasarkan pada apa saja yang diidentifikasi sebagai defisit: kurang, tidak ada, atau bermasalah. Masyarakat, di mana pun mereka berada diandaikan sebagai bermasalah atau sarang masalah. Asumsi dasarnya, oleh karena itu, tidak melihat masyarakat sebagai kumpulan manusia yang bisa berdaya dan mandiri, akan tetapi secara terus-menerus dilihat sebagai obyek belas-kasihan penerima bantuan dan uluran tangan, obyek pembangunan atau obyek politisasi.

Lihat juga, misalnya, terminologi yang dipakai. Masyarakat akrab dengan istilah ‘bantuan’ yang berkonotasi konsumtif, kata ‘proyek’ yang berarti adanya peluang untuk terlibat dalam satu kegiatan untuk mendapatkan bayaran, atau berbagai bentuk istilah kemurah-hatian simbolik dalam ranah agama dan politik.

Logika sederhananya adalah bahwa sejauh ini masyarakat terus-menerus mengalami konstruksi sosial untuk menjadi passive-recipients—penerima pasif dari berbagai bantuan, program atau proyek—dan tidak atau belum menjadi active-agents—yakni sebagai warga negara yang difasilitasi untuk berdaya dalam mengelola kehidupan mereka secara mandiri.

Dalam jangka panjang, oleh karena itu, program-program yang berbasis pendekatan defisit semacam ini seperti membuat bom waktu. Bahkan, jika terjadi  goncangan ekonomi dahsyat seperti yang terjadi saat ini, ledakan bom waktu tersebut semakin cepat terjadi dan tak tertahankan. Sebab masyarakat yang sudah terlanjur menjadi penerima kebijakan yang pasif itu tak berdaya, tak memiliki resiliensi dan pada akhirnya bisa menjadi disruptif.

Oleh karena itu, dengan menjadikan apa yang dilakukan Agus Kholik sebagai contoh kasus, pemerintah bisa melakukan intervensi secara lebih membumi. Dengan membeli membeli produk dari usaha-usaha ekonomi kreatif  ini saja, misalnya, pemerintah akan bisa menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencapai 123,46 triliun secara manfaat. 

Bentuk intervensi yang lebih tepat tentulah tak sekadar itu. Berdasarkan filosofi dan model pendekatan ABCD, pemerintah melalui puluhan kementerian bisa melakukan intervensi positif dalam arti fasilitatif. Artinya, berbeda dari kecenderungan intervensi umum yang bisa dikatakan negatif karena bersifat serba mengatur, menentukan atau bahkan memerintah, intervensi yang dilakukan adalah berupa fasilitasi, yakni dalam posisi menjalankan amanah konstitusional sebagai penanggung jawab utama ekonomi nasional dan sebagai mitra melalui unit-unit kerja terkait.

Ketika secara ekonomi setiap unit ABCD bertujuan untuk memberdayakan komunitas dengan memobilisasi aset-aset yang dimiliki, secara legal-formal setiap unit gerakan tersebut diarahkan supaya menjadi unit usaha. Sebab, ketika setiap unit gerakan bisa menjadi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), misalnya, secara prosedural-administratif berbagai bentuk intervensi lebih mudah dilakukan.

Pemerintah pusat, melalui kementerian misalnya, juga wajib secara lebih intens bergandengan dengan pemerintah daerah. Sebab, ABCD adalah pendekatan yang berbasis komunitas dalam arti yang longgar. Secara teritorial ia bisa berbasis desa, RW, RT, dusun atau bahkan berupa sekumpulan orang-orang yang memiliki ketertarikan atau konsen yang sama. Pemerintah dengan lembaga atau siapapun yang menjadi representasinya harus peka, proaktif dan tentu saja tak pandang bulu alias bertindak adil.  

Sebagai terobosan dalam rangka amplifikasi dalam skala nasional, sebagai contoh, selain dengan memastikan unit-unit kerja yang menjangkau 83.931 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia, pemerintah bisa saja membuat saja semacam sayembara kreatifitas “Mitigasi Covid-19” berbasis UMKM yang bergerak dalam manufaktur. Dalam hal ini, secara administratif-prosedural, pemerintah melalui kementerian tak perlu takut mencairkan dana. Sebab ini adalah program, bukan proyek.

Di samping itu, supaya terjadi konsistensi dan program-program pemberdayaan memberi manfaat maksimal, pemerintah perlu memastikan aspek legal-formal yang juga konsisten. Sejak dini, jika filosofi dan model ABCD diadopsi, pemerintah harus tegas supaya tak terjadi gonta-ganti aturan. Jangan sampai terjadi lagi misalnya bahwa pada bulan April berlaku peraturan A, bulan Mei berubah B dan pada Juni tiba-tiba berubah lagi menjadi C.

Allaahu a’lam bi al-shawaab.

___

Juga tayang di https://akurat.co/news/id-1192297-read-gerakan-abcd-untuk-pemulihan-ekonomi