blog_img1

Food Estate

Di akun Twitter-nya, seorang kawan bercerita, “20 hari lagi, bawang merah seluas 3.500 ha di sentra produksi Kabupaten Nganjuk akan mulai panen nyaris serempak. Dengan provitas rata-rata 14 ton/ha akan dihasilkan 49.000 ton. Semoga harganya bisa bertahan. Sudah siap serap bawang merahnya, Bang”. 

Saya kemudian membalas, “Luar biasa. Food Estate sudah ada di sejumlah daerah. Sentra-sentara seperti ini mestinya diperbanyak.”

Secara bahasa food estate bisa diterjemahkan sebagai lumbung pangan. Dalam Proyek Strategis Nasional 2015-2019, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Pertanian bertugas membuat dan menjalankan  program pengembangan lumbung pangan ini, dengan tagline “Pangan Melimpah, Harga Lebih Murah”. Sesuai rancangan proyek tersebut, lumbung pangan nasional akan dibangun di lima lokasi, yakni 120 ribu ha di Kalimantan Barat, 180 ribu ha di Kalimantan Tengah, 10 ribu ha di kalimantan Timur, 190 ribu ha di Maluku, dan 1,2 juta ha di Papua.

Kini, di tengah hantaman badai pandemi, pemerintah mereaktivasi program lumbung pangan dalam skala besar ini. Untuk tahap pertama, pengembangan food estate di lakukan di Kalimantan tengah (9/7/20). Dalam  reaktivasi program lumbung pangan, selain pengembangan sentra produksi, pemerintah akan mengembangkan sistem penyimpanan cadangan pangan dan sistem distribusi.

Reaktivasi ini selanjutnya dinyatakan bukan sebagai program cetak sawah tetapi sebagai pengembangan pusat pangan. Dalam pengertian ini, pengembangan food estate mencakup tanaman singkong, jagung, dan kebutuhan-kebutuhan pangan pokok lainnya. Dikomandoi oleh Kementerian Pertahanan, program lumbung pangan yang sejatinya berdasar pada misi ketahanan pangan (food security) menjadi bagian dari sistem pertahanan negara.

Sebagaimana didefinisikan oleh Komite Ketahanan Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa, ketahanan pangan merupakan situasi di mana semua orang dan dalam keadaan bagaimanapun memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi terhadap pangan, yang tidak saja harus cukup tetapi juga aman dan bergizi. Pangan tersebut  juga harus memenuhi kebutuhan dan preferensi diet harian, sesuai dengan standar kehidupan aktif serta sehat.

Sepanjang sejarah dunia, ketahanan pangan suatu komunitas atau negara bukan saja senantiasa menjadi isu politik, tetapi juga pernah dikembangkan dengan berbagai tujuan dan cara. Dengan berpijak pada prinsip ketersediaan bahan pangan secara berkelanjutan bagi anggota komunitas atau warga negara, cara ini dianggap sebagai prasyarat bagi keberlanjutan komunitas atau negara itu sendiri. Sebab subsistensi—keterpenuhan kebutuhan pokok—adalah dasar bagi perdamaian dan kedamaian sosial.

Di Tiongkok dan Mesir Kuno, misalnya, sistem ketahanan pangan dalam bentuk lumbung pangan secara terpusat sudah dikenal sejak lebih dari sepuluh ribu tahun yang lalu. Setiap kali ancaman kelaparan melanda, baik karena perubahan musim, gagal panen, wabah penyakit, atau peperangan, suplai pangan didistribusikan oleh pemerintah.

Dalam perjalanannya, seiring dengan perubahan sistem ekonomi, seperti dari sistem komunalistik menjadi individualistik, sistem ketahanan pangan juga berubah. Kini, misalnya, dalam sistem ekonomi yang lebih liberalistik—di mana pemenuhan kebutuhan pangan menjadi lebih transaksional, kecuali bagi para petani yang memproduksi pangan untuk kebutuhan sendiri—ketahanan pangan suatu negara dinyatakan aman jika produksi dan distribusi pangan bergerak dalam suatu ekuilibrium, di mana terdapat keseimbangan suplai dan permintaaan sehingga terjadi kestabilan harga.

Dalam sistem yang individualistik, di mana unit penghitungan adalah individu atau rumah tangga, ketahanan pangan diukur dengan kemampuan seseorang untuk mengakses bahan-bahan pangan. Oleh karena itu, sebuah rumah tangga dinyatakan memiliki ketahanan pangan jika para anggotanya tidak kelaparan atau terancam kelaparan.

Meskipun demikian, dalam konteks Indonesia secara khusus, ketahanan warga negara pada dasarnya menjadi tanggung jawab negara. Akan tetapi ini adalah dalam makna fasilitatif, di mana tanggung jawab negara adalah “memajukan kesejahteraan umum”. Distribusi pangan secara gratis atau subsidi oleh negara hanya untuk orang-orang yang tidak mampu karena faktor fisik, usia atau mental (UUD 1945, Pasal 33-34).

Kembali pada reaktivasi program food estate oleh pemerintah, selain sistem sentralisasi di wilayah-wilayah di mana masih tersedia tanah yang luas, hemat saya perlu dipertimbangkan semacam diversifikasi. Rencana tahap awal lumbung pangan, yakni seluas kurang lebih 30.000 ha di Kalimantan Tengah, jika berjalan sebagaimana yang diharapkan adalah anak tangga pertama. Namun, sebagai anak tangga berikutnya, selain dengan cara yang kurang lebih sama di Maluku dan Papua, sebagaimana yang sudah direncanakan, perlu dipertimbangkan pengembangan food estate di sentra-sentra pertanian khas yang sudah tersebar sebelumnya di seluruh nusantara.

Sebagai contoh, seperti saya kutip di bagian awal tulisan ini, sentra pertanian bawang merah serta sentra-sentra tradisional lainnya di seluruh Indonesia, yang sudah ada selama ini dan berkontribusi besar bagi ketahanan pangan nasional, perlu dikembangkan lebih jauh secara sistemik sebagai bagian penting dari sistem lumbung nasional secara keseluruhan. Industrialisasi pertanian, karena ketahanan pangan di era moderen ini diyakini harus dalam skala industri, tak mesti dipahami dan kemudian diwujudkan semata-mata dalam satu sentra besar dalam ukuran spasial.

Catatan kedua, program masifikasi lumbung pangan juga bisa melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keterlibatan paling sederhana adalah seperti dalam suplai benih, transportasi, distribusi, packaging dan berbagai bentuk industri hilir. Hanya saja, hal ini perlu dilakukan dengan hati-hati, karena  pengalaman keterlibatan beberapa BUMN pernah menyisakan kegagalan. 

Sebagai catatan penutup, meskipun sudah lampau dan dilakukan dengan tujuan dan cara-cara yang tak tak sepenuhnya baik, salah satu program lumbung pangan terkenal adalah Reichsnährstand atau Reich Food Estate di Jerman pada 1936. Setelah berpandangan bahwa perbaikan ekonomi Jerman pasca Perang Dunia Pertama telah berjalan seperti yang direncanakannya dengan sangat detil, Hitler menginginkan transformasi yang lebih dramatis. Hitler lalu memilih Hermann Göring sebagai Menteri Ekonomi yang kedua.

Rencana besar Hitler berpusat pada pembangunan ketahanan ekonomi Jerman yang mampu berswadaya (self-sufficient) dalam waktu empat tahun. Kebijakan yang disebut sebagai autarky ini bertujuan supaya ekonomi Jerman tak rentan meskipun mengalami blokade karena adanya peperangan. 

Sebagai salah satu program utama, Reich Food Estate mengatur secara ketat apa saja yang boleh ditanam atau diproduksi oleh para petani. Sebagai dukungan, pemerintah memberi jaminan harga pada setiap produk petani dan memberikan berbagai subsidi untuk mendorong kebaikan skala produksi. Di samping itu, supaya betul-betul mandiri dalam hal pangan pemerintah mengontrol impor seketat-ketatnya.

Sumber daya manusia juga diatur secara ketat dan tentu saja tidak dalam ukuran perikemanusiaan. Untuk menggenjot jumlah tenaga kerja di masa depan, angka kelahiran didorong dengan cara “memaksa” pasangan berusia subur untuk memiliki anak dalam jumlah teertentu. Dan tentu saja, perbudakan terhadap ras non-Arya, terutama ras Semitis, dilakukan.

Hemat saya, tindakan memaksa para petani untuk melakukan tanam paksa tentu saja salah. Demikian juga dengan perbudakan dan menggenjot jumlah populasi dengan mekanisme pemaksaan. Akan tetapi, cara kerja berupa detailing yang ketat dalam perencanaan dan proses pelaksanaan, penjaminan harga di mana pemerintah membeli hasil panen para petani secara wajar, adanya berbagai subsidi yang tepat guna, serta pembatasan impor yang ketat adalah hal-hal yang semestinya dicontoh oleh pemerintah dalam menjalankan program food estate.