blog_img1

Sense of Crisis

Ada doa dalam Islam yang diriwayatkan dalam Sahih Ibn Hibban. Bunyinya “Allahumma la sahla illa ma ja’altahu sahla, wa anta taj’alul hazna idza shi’ta sahla”—Ya Allah, tak ada yang mudah kecuali Engkau memudahkannya, dan Engkau pula yang membuat kesulitan menjadi kemudahan jika Engkau menghendakinya!

Oleh santri pesantren dan murid-murid sekolah, doa ini biasanya digunakan pada saat menempuh ujian. Konon, sesuai artinya, doa ini membuat mudah para santri atau murid dalam menjawab atau mengerjakan soal-soal. Wallaahu a’lam.

Akan tetapi, jika kita baca lebih jauh dalam literatur Islam, membaca doa ini pada dasarnya adalah salah satu cara dalam menghadapi krisis. Membaca dan menghayati hadis doa ini merupakan cara untuk menguatkan pikiran, hati dan fisik, bahwa kemudahan dan kesulitan itu tergantung pada kehendak Sang Pencipta kemudahan dan kesulitan itu sendiri.

Membaca cuitan dalam Twitter pribadi Presiden Jokowi, Kamis 9 Juli 2020, hadis doa ini bisa dikatakan berhubungan dengan kesadaran dan tindakan terkait sense of crisis. Sebab, dibaca dalam berbagai kamus, sense of crisis mengacu pada adanya sudut pandang, pemahaman, rasa, kesadaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi krisis. Sense of crisis berhubungan dengan kemampuan untuk mendapat informasi dan gagasan, mengolahnya dalam pikiran dan hati, menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran baru dan atas dasar itu terlahir tindakan yang tepat.

Orang yang benar-benar membaca doa di atas, oleh karena itu, tiba pada satu kesadaran atas dasar pengetahuan dan rasa (sense) bahwa kemudahan dan kesulitan itu benar-benar ada, silih-berganti dan sama-sama merupakan kehendak Allah. Dan dalam menghadapi kedua kehendak yang bertolak-belakang itu, sejak awal sampai akhir harus dipenuhi oleh keyakinan akan kekuasaan Sang Pencipta keduanya.

Berpikir atau berpandangan bahwa pandemi saat ini bukan krisis, dan oleh karena itu berperilaku seolah-olah tak terjadi apa-apa, tentu saja merupakan anomali. Dan hadis doa di atas menjadi semacam peringatan, bahwa kemudahan dan kesulitan itu, kapanpun, di manapun dan pada siapapun pasti terjadi.

Jika kemudian ada para pejabat negara yang bingung atau dinilai masih belum mampu bekerja maksimal di tengah badai pandemi ini, itu menjadi indikasi bahwa ada persoalan dengan sense of crisis. Sehingga amat wajar jika Presiden Jokowi menyampaikan persoalan ini ke masyarakat luas melalui media sosial.

Dan untuk itu, Presiden Jokowi memberi tips yang amat sederhana: “Bagaimana bekerja dengan sense of crisis di tengah pandemi ini? Ya, lebih keras dan lebih cepat. Dari kerja biasa ke kerja luar biasa. Dari cara-cara rumit ke cara-cara cepat dan lebih sederhana. Dari yang SOP (Standard Operational Procedures) normal, ke SOP yang smart shortcut.”

Deskripsi proses dari orang-orang yang bekerja berdasar sense of crisis ini sangat sederhana: lebih tekun, giat, lebih lama, lebih cepat, beda dari biasa dan sederhana. Tetapi, dan ini yang tempo hari membuat Presiden diberitakan ‘marah’, indikasinya harus terlihat jelas di setiap jeda dan akhir setiap langkah dan tindakan, yakni terbukti lebih efektif dan efisien. Efektif dan efisien tidak dibuktikan semata-mata dengan habisnya anggaran atau tindakan berhemat, tetapi dibuktikan dengan korelasi antara setiap rupiah yang keluar dengan manfaat nyata pada rakyat.

Kembali pada pengalaman di masa nyantri di pesantren, soal kemudahan dan kesulitan dalam menempuh ujian tentu bukan satu-satunya tantangan terkait sense of crisis. Berbagai doa juga senantiasa dipanjatkan supaya kegiatan belajar bisa tetap jalan di tengah berbagai keterbatasan fasilitas.

Akan tetapi, segala keterbatasan itu terasa membentuk cara berpikir, bersikap dan bertindak dalam ukuran-ukuran yang bagi banyak orang boleh jadi dipandang tidak normal atau biasa. Setiap sore, misalnya, sebagai anak dan murid, saya harus menyalakan 2 lampu strongking (petromaks), 7 lampu templek dan 1 obor. Itu harus saya jalani selama bertahun-tahun.

Jika dilihat sepintas, tak ada yang istimewa dari penugasan atau kebiasaan tersebut. Tetapi, dalam pandangan saya, seperti dalam mengelola negara, di sana berlaku home economy. Bagi seorang anak dan santri, yang sedang digodok untuk mampu bertahan hidup dan berkembang dalam silih-ganti  kemudahan dan kesulitan, ini menjadi semacam berkah dalam mengasah sense of crisis. Nilai-nilai dan praktik home economy tersebut membentuk kebiasaan dan kesadaran.

Di ranah pemerintahan negara ini, yang menurut hemat saya menjadi salah satu sebab kenapa Presiden Jokowi harus berbicara sense of crisis, mungkin bukan hanya karena soal keterlambatan tetapi juga masalah kepekaan, keluasan pandangan atau bahkan sikap mbalelo. Dalam hal ini, ungkapan keterlenaan di ‘menara gading’ mungkin bisa membantu kita.

Sejak abad ke-19, metafor tour d'ivoire atau ivory tower mengacu pada tempat, kedudukan dan suasana yang serba mulia, enak, dan menyenangkan. Orang yang hidup di menara gading berarti terpisah dari dunia nyata, baik secara fisik atau mental. Mereka sibuk dengan pikiran atau urusannya sendiri dan mengabaikan realitas kehidupan sehari-hari.

Kita tahu, selanjutnya, Presiden Jokowi berasal dari wong cilik—kalau tidak dari kelas menengah bawah—yang terbiasa hidup di kota kecil atau bahkan di kampung-kampung. Ketika sudah duduk sebagai presiden pun, beliau selalu berusaha blusukan ke kampung-kampung. Dari kata-kata, sikap dan perbuatan beliau kita bisa merasakan bahwa sikap ‘kekampungan’ itu tak pernah luntur.

Akan tetapi, tak demikian halnya dengan orang-orang yang membantu beliau dalam pemerintahan. Meskipun banyak juga yang memulai hidup dan karir dari bawah, sense kekampungan mereka tak demikian kuat. Indikasinya sangat sederhana, yakni dengan melihat frekuensi dan durasi bersama masyarakat, program-program yang langsung menyentuh masyarakat dan laku hidup kemasyarakatan apa yang mereka jalankan.

Terakhir, terkait sense of crisis di tengah badai pandemi, pilihan terbaik kita tentu adalah mendukung program-program pemerintah yang baik dan dilakukan secara benar. Dan, seraya menundukkan kepala, hati dan pikiran kita lebih rendah lagi, berdoa  “Allahumma la sahla illa ma ja’altahu sahla, wa anta taj’alul hazna idza shi’ta sahla”—Ya Allah, tak ada yang mudah kecuali Engkau memudahkannya, dan Engkau pula yang membuat kesulitan menjadi kemudahan jika Engkau menghendakinya!

Wallaahu a’lam bi al-shawaab.