blog_img1

New Normal, Bisa Karena Terbiasa

Pilihan menjalankan protokol new normal atau transisi berkehidupan di tengah pandemik, bagi pemerintah atau negara, itu adalah pilihan sadar, rasional serta lebih baik. Demikian pula semestinya bagi setiap warga negara. Sebut saja kalau kita berdamai atau hidup berdampingan dengan Covid-19.

Berpikir optimistik, pandemi ini bisa dipandang sebagai satu bentuk krisis di tengah berbagai krisis lain yang pada kenyataannya juga terjadi pada dan di sekitar kita. Hanya saja, karena sudah berlaku “bisa karena terbiasa,” pikiran, sikap dan perilaku kita yang berdasar kekuatiran tidak sedemikian kuat.

Rangkaian krisis tersebut sadar atau tidak sadar menjadi bagian dari hidup, dan pada kenyataannya lebih banyak yang berhasil diatasi. Indikatornya menurut saya sangat sederhana: hidup kita bisa terus berjalan meski disertai pasang-surut. Di sana-sini, dalam rentang dua puluh empat jam, satu pekan atau satu tahun, kita bisa menikmati kebahagiaan dalam berbagai bentuknya.

Saya yakin bahwa setiap orang—meskipun dengan kadar yang berbeda—sudah sampai pada satu kesadaran baru yang berbeda dari sebelumnya. Badai pandemi ini telah memberi pengetahuan dan pengalaman berharga baru tentang kesehatan dan hidup sehat, makna sosialisasi, dan bahkan pengelolaan ekonomi rumah tangga, lembaga dan perusahaan.

Pilihan menempuh new-normal tentu saja mengandung risiko. Namun saya berkeyakinan bahwa kesadaran baru yang kini dimiliki setiap warga negara sudah mencakup sedikit banyak pengetahuan tentang risiko yang menyertai situasi dan kondisi berkehidupan di tengah pandemi Covid-19.

Pilihan ini bukan pula mengabaikan jasa, pandangan dan saran ahli kesehatan, dokter dan tenaga medis. Protokol kesehatan yang berdasar pada perkembangan sains kedokteran tetap harus dipegang dan terus-menerus disosialisasikan kepada masyarakat, yakni sebagai bagian dari edukasi sosial ketika masyarakat bisa terus melanjutkan kehidupan mereka.

Berdasar sudut pandang optimistik ini, sebagai contoh, keputusan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang menyatakan kegiatan perkantoran di Jakarta bisa dimulai kembali mulai Senin, 8 Juni 2020, adalah pilihan yang lebih baik di antara berbagai pilihan yang tersedia. Dalam bahasa hukum Islam, di sini berlaku kaidah yukhtar akhaffu al-dhararain—mengambil pilihan dengan kadar kemudharatan yang lebih ringan—atau yang kurang buruk di antara yang buruk.

Faktor yang paling menentukan, dalam menimbang pilihan bagi pemerintah daerah atau negara, adalah soal keberlanjutan subsistensi—keterpenuhan kebutuhan hidup setiap warga negara—serta keberlanjutan negara sendiri. Cadangan ekonomi negara manapun tak akan cukup untuk berlama-lama digunakan secara konsumtif. Sebagai sebuah lembaga ekonomi maha besar, negara harus bergerak dan produktif.

Bagi warga negara pada umumnya, ketika bagi kalangan ekonomi mapan mungkin tak terlalu masalah jika roda ekonomi tak terlalu bergerak, berlarut-larut dalam situasi semacam status quo ini adalah masalah besar, terutama di hari-hari mendatang. Bagi negara, satu saat, cepat atau lambat, resesi ekonomi akan terjadi kalau terus-menerus menunggu adanya pilihan tanpa atau bahkan rendah risiko. Dan kita tahu, begitu situasi malaise terjadi—di mana berkembang keresahan sosial tersebab kesulitan ekonomi yang luas, yang pada masa Orda Lama pernah dipelesetkan menjadi situasi meleset—pengelolaan negara akan menjadi lebih sulit.

Secara makro, Anggaran dan Pendapatan Belanja negara (APBN) 2020 kembali direvisi, yang mencakup kebutuhan negara hingga akhir tahun. Pendapatan negara dikoreksi dari semula 1.760,9 triliun menjadi 1.699,1 triliun. Terutama karena harus mengalokasikan berbagai kebutuhan terkait pengelolaan negara di tengah pandemi,belanja negara meningkat dari 2.613,8 triliun menjadi 2.738,4 triliun. Lalu bagaimana pemerintah harus mendapatkan selisih kurang anggaran ini?

Seiring dengan itu, salah satu contoh yang partikular adalah bagaimana Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus bisa tetap berproduksi dan memenuhi kebutuhan rakyat. Tak beda dari penurunan penerimaan negara secara kesekuruhan, PLN harus menanggung lebih banyak rugi lagi dalam masa pandemi ini. 

Penerimaan dari segmen pelanggan 450 VA sudah pasti nihil. Sementara itu, penerimaan dari pelanggan 900 VA hanya 50 persen dan penerimaan dari pelanggan besar seperti sektor industri ikut berkurang karena penurunan atau pengurangan operasi.

Di sisi lain, semua kontrak bahan bakar untuk listrik bersifat take or pay—ambil atau kalau tidak bayar penalti. Dan ini diperpanjang sampai dengan September. Demikian pula, subsidi listrik masih terus menjadi kewajiban negara yang harus dijalankan oleh PLN.

Khusus terkait PLN ini, saya ingin menyampaikan bahwa pada dasarnya sudah terdapat sistem yang cukup baik, yang memungkinkan listrik sampai ke rumah kita. Tidaklah mudah mengurus kelistrikan dalam wilayah yang luas, penduduk yang banyak dan medan alam yang berat. Secara keuangan, jika  effisiensi bisa terus ditingkatkan, beban negara dan PLN sendiri akan lebih ringan.

Itulah sebabnya, supaya malaise tak terjadi dan ekonomi bisa mengalami percepatan pemulihan, pemerintah berhitung saksama. Dalam rapat BPK-RI bersama Menteri Keuangan, dibicarakan bagaimana anggaran penanganan pandemi Covid-19 terus bertambah. Demikian pula, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta dunia usaha betul-betul dijadikan  prioritas pemerintah.

Di setiap lembaga pemerintah, UMKM dan perusahaan, oleh karena itu, semangat dan langkah-langkah yang seiring dengan kebijakan pemerintah ini juga harus diambil. Ini adalah waktu di mana kedewasaan dalam wujud kematangan berpikir, bersikap dan bertindak setiap warga negara dan institusi mutlak diperlukan.

Di BPK-RI sendiri, di mana saya bekerja, hari pertama work from office (WFO) dengan rasio 50 persen sudah berjalan sejak Senin. Sebagai upaya membangun ketetapan hati para pegawai, saya berkeliling,  memberi semangat dan dan menyampaikan program lanjutan pemeriksaan keuangan negara dalam masa pandemi Covid-19.  

Demikianlah, menyadari beban rakyat dan negara, normalisasi kehidupan ekonomi adalah yang utama saat ini. Dan itu kita lakukan berbekal kesadaran baru—dengan pengetahuan dan pengalaman berkehidupan di masa pandemi—ditambah dengan semangat gotong-royong yang menjadi inti falsafah negara, Pancasila, serta prinsip efisiensi dalam berbagai lini kehidupan.

Bismillaahirrahmaanirrahiim.