blog_img1

Memaknai Silaturahim Virtual

Lebaran tahun 1441 H  atau 2020 M dirayakan secara berbeda. Kita dibatasi oleh keadaan untuk bertemu secara fisik. Kehangatan jabat tangan, sungkeman, dan pelukan sebagian besar harus diganti dengan virtualitas: saling berbagi doa dan harapan melalui citra, gambar atau kata. Permohonan maaf dan penghormatan—dari anak kepada orang tua, murid pada guru dan seterusnya—dibantu alat komunikasi.

Dan virtualitas ternyata tak mampu mengganti sepenuhnya! Tetap ada yang tak tergantikan oleh citra-citra dunia maya. Tetap tersisa kerinduan yang tak tumpah seperti biasanya.

Sehingga wajar saja jika romantisme tiba-tiba saja bertumbuh. Ada kesedihan atas ‘ketidakwajaran’ ini, yang tiba-tiba saja harus diterima sebagai ‘kewajaran baru’. Ada yang kuat menanggungnya dan ada yang tidak.

Sangat dimaklumi, oleh karena itu, jika tak sedikit yang nekat menempuh mudik. Rumah dan kuburan orang tua adalah tempat bersimpuh sebagai bakti-tulus. Apalagi bagi mereka yang masih memiliki orangtua di kampung halaman.

Idul Fitri memang bukan hari biasa, tapi inilah hari di mana semua teringat, semua terkenang!

Mungkin itu sebabnya, dalam sistem penanggalan Islam, bulan berlebaran ini disebut Syawwaal. Kata ini berakar dari kata kerja syaala, yang secara harafiah berarti mengangkat atau membawa. Dalam literatur Islam, syawwaal juga dinyatakan berarti bertambah, tumbuh, berkembang, atau lebih besar dari sebelumnya. Bahkan secara harafiah juga, syawwaal bisa berarti mudik, membawa diri dan/atau keluarga berkunjung ke kampung halaman.

Keseluruhan arti harafiah syawaaal bernada positif dan berujung pada perubahan. Pada bulan ini setiap Muslim diminta untuk bergerak, merapikan diri dan harta-benda, memperbarui hubungan, dan move on—tak terlarut oleh nestapa. Dan ini adalah bulan di mana cita-cita dan pengharapan bersemi dan bertumbuh kembali setelah bertemu atau berbagi.

Dalam catatan sejarah penanggalan Islam juga bisa dibaca bahwa syawwaal menjadi waktu di saat mana onta-onta betina biasanya mengandung jabang bayi dalam kandungan [fetus]. Mengingat betapa pentingnya hewan ini bagi bangsa Arab dan umat Islam zaman dulu, bulan di mana onta-onta mengandung menjadi momentum kebahagiaan karena di sana harapan akan keberlanjutan hidup dan kesejahteraan tiba kembali.

Kesemua ini mengantar kita pada silaturrahiim atau silaturrahmi, sebuah konsep yang berakar pada kata shilah dan rahiim. Kata shilah sendiri masih serumpun dengan akar kata shalat, yang bisa berarti 'menghubungkan', 'mengaitkan', 'menjalin', serta 'doa.'

Sedangkan kata rahiim yang diadopsi dalam bahasa Indonesia  ‘rahim’ berarti  kandungan ibu atau yang secara medis diistilahkan sebagai uterus—tempat hidup jabang bayi selama kurang lebih sembilan bulan. Kata ini juga serumpun dengan rahmat yang berarti kasih-sayang atau anugerah serta kata al-Rahiim, nama Allah sebagai ‘Maha Penyayang’ atau ‘Maha Pemurah’.

Singkat kata, menjalankan silaturrahim atau silaturrahmi adalah demi keterpeliharaan ukhwah—ikatan-ikatan atas dasar keluarga, agama, persahabatan dan bahkan profesional atau pekerjaan yang dijalin supaya mencapai taraf ‘persaudaraan’. Buah yang diharapkan dari jalinan persaudaraan itu adalah kedekatan yang melahirkan kasih-sayang atau welas asih—sesuai nama Allah al-Rahiim—dan pada gilirannya membiakkan empati, kegotong-royongan, dan laku tolong-menolong.

Dalam konteks berlebaran, salah satu laku fisik untuk memelihara silaturahim halal bi halal, suatu tradisi yang berakar dan khas Islam nusantara. Meskipun menggunakan kata Arab, istilah ini dinyatakan tak tepat secara gramatikal dan tidak ada dalam pemakaian orang Arab. Dalam Ensiklopedi Islam (2000) dinyatakan bahwa tradisi ini bermula sebagai perayaan keagamaan sejak tahun 1940-an dan berkembang luas pada 1950-an.

Halaal sendiri secara bahasa berarti ‘boleh’ atau ‘diperkenankan’  dan dalam konteks Islam sebagai kebolehan secara syar’i atau hukum agama. Halaal merupakan lawan dari kata haraam atau ‘yang tak diperbolehkan’. Wilayah pakai kata halal mencakup hampir seluruh aspek kehidupan, seperti makanan, pekerjaan, hubungan sosial dan seterusnya.

Dalam konteks Indonesia, halal bi halal berarti sebagai kerelaan dan laku saling menerima dan saling memaafkan. Melakukan halal bi halal bertujuan untuk menjaga hubungan baik, memelihara harmoni dan bahkan merupakan saat yang tepat untuk melakukan rekonsiliasi, yang bisa jadi terkendala jika dilakukan di waktu-waktu lain. Dan itu pada umumnya dilakukan secara fisik—bersama-sama berkumpul di satu tempat dan bergembira bersama.

Tapi pandemi telah memaksa kita untuk mencari jalan lain. Secara resmi sejauh ini tak boleh ada kongregasi, berkerumun di satu tempat dalam jumlah banyak. Namun, dengan segala perasaan keterpaksaan dalam menerima, silaturrahim harus tetap terpelihara. Harus tetap keyakinan akan Allahu akbar wa lillahi al-hamd—Allah Maha Besar dan atas segala anugerah-Nya kita bersyukur.

Di tengah berbagai cobaan hidup, semangat Idul Fitri harus tetap berkumandang sebagai wujud kemenangan. Doa tak boleh terhenti untuk kemaslahatan. Ikhtiar terus dilakukan dengan kepasrahan semakin penuh kepada Yang Maha Kuasa. 

Meskipun prinsip kehati-hatian demi keselamatan mewajibkan kita menjalankan protokol kesehatan, masih ada jalan virtual, umpamanya, jika hendak ber-halal-bi-halal. Meskipun tak biasa dan ada yang terasa hilang, ada instrumen komunikasi: gadget atau komputer dengan ragam simbol atau citra tiruan, yang dengan satu dan lain cara dibuat supaya mampu memberi kesan atau nuansa fisikal.

Ini adalah satu bentuk kebaruan yang bagaimanapun harus diterima. Sebab jangan pernah berpikir kalau pandemi ini sementara dan dianggap biasa. Selama vaksinnya belum ada, yang bertahan hidup bukanlah bukan yang paling kuat, besar atau kaya, namun mereka yang bisa menata hati, menahan diri dan cepat beradaptasi. Kita memasuki babak baru dalam kehidupan. Semua akan terus berubah di saat sistem  baru dalam proses pembentukan.  Wallaahu a’lam bi al-shawwaab.