blog_img1

Orang Baik dan Pemurah Hati

Sebelum Ramadhan, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) kedatangan tamu luar biasa, Letjen (TNI) Doni Munardo, yang diangkat sebagai Ketua Gugus Tugas Covid-19. Kita tahu, semua kebijakan tentang Covid-19 harus dikeluarkan oleh Ketua Gugus Tugas dan langsung bertanggungjawab kepada Presiden.

Salah satu yang membuat saya sangat terkesan adalah laku pengabdian beliau. Karena tuntutan pelaksanaan tugas di tengah badai pandemik, Pak Doni jarang pulang ke rumah. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu di kantor, bekerja untuk bangsa. Sebagai pribadi dan junior dalam pengabdian pada negara ini, saya harus katakan “Salut Jenderal!”

“Pahlawan yang setia itu berkorban,” tulis Bung Hatta berpuluh tahun lalu, “… bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita." Dan bersama Pak Doni ada ratusan atau bahkan ribuan pahlawan yang kini terus-menerus berjuang mengatasi pandemi Covid-19 ini. Kita juga tak boleh lupa bahwa sudah terdapat puluhan tenaga medis yang gugur, berkorban nyawa demi cita-cita mulia mereka.

Di tengah perjuangan ribuan pahlawan ini, kita tentu amat sedih ketika tak sedikit yang melanggar aturan di masa pandemi. Ketika masyarakat yang awam tak bisa disalahkan karena keawamannya, kelakuan tokoh pemerintah, tokoh masyarakat, politisi sampai dengan tokoh agama yang tak setia mendukung protokol kesehatan terasa menjadi ironi.

Lihat misalnya kelakuan tak bijak beberapa tokoh atau pejabat negara dan daerah yang entah kenapa tak mampu menahan diri. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) minta dilonggarkan. Padahal jumlah Pasien Dengan Pengawasan (PDP) di tanah air masih naik.

Kenapa kita tidak fokus saja memperkuat PSBB, sesuai keputusan pemerintah yang sudah dijalankan? Kenapa tidak menunggu sampai 29 Mei 2020? Bukankah hasil dari PSBB sudah mulai kelihatan? Tak bisakah semua orang menerima bahwa jika terdapat cacat sana-sini itu adalah soal lain dan tak perlu merusak hal baik ini di tengah jalan?

Tak salah misalnya, jika ada yang berasumsi bahwa kunjungan kerja pejabat ke daerah sebelum lebaran pasti ada hubungannya dengan hasrat untuk mudik. Atau publik akan mengamini jika tiba-tiba saja ada yang menuduh kalau pejabat publik semacam ini lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok.

Ketika Amerika Serikat tengah diamuk krisis rasisme di era 1960-an, Presiden John F. Kennedy menyatakan: “Di waktu krisis, orang-orang baik dan pemurah hati harus [mampu] bersatu, terlepas dari warna partai atau politik. Dalam teks Bahasa Inggrisnya, Presiden Kennedy menggunakan ungkapan ‘men of goodwill and generosity’ untuk menyebut orang-orang baik dan pemurah hati.

Ini disampaikannya pada 11 Juni 1963, dalam pidato eksekusi keputusan pengadilan di mana Universitas Alabama harus menerima dua mahasiswa kulit hitam yang semestinya memang layak diterima. Atas nama demokrasi dan penegakan keadilan, meski harus dikawal oleh pasukan Garda Nasional Alabama, eksekusi tersebut dijalankan.

Kembali pada soal goodwill and generosity, kita tentu tak tak tahu niat orang, sehingga absurd jika menghakimi niat yang tak diketahui itu dengan mencari-cari dan menghubung-hubungkannya dengan yang lain. Demikian pula, kita tak bisa mengukur kemurahan hati. Niat baik atau jahat, kedermawanan atau kekikiran adalah rahasia diri dan Tuhan.

Tapi laku bercerita tentang goodwill dan generosity. Dan kurang lebih itulah yang menjadi landasan orang bersahabat atau membangun relasi bisnis yang sehat. Di ranah pelayanan publik, keduanya menjadi dasar dan kunci keberhasilan.

Demikian pula dalam dunia politik. Meskipun uang bisa saja menjadi salah satu determinan utama, niat baik dan kemurahan hati yang berhasil dicitrakan adalah modal utama politisi bisa dikenal, disukai dan syukur-syukur bisa dipilih. Sehingga absurd juga kalau ini tak jadi momentum yang dimanfaatkan bagi kebaikan.

Ketika perjuangan mengatasi pandemi ini masih di tengah jalan, dan bagi umat Islam saat ini adalah bulan ibadah, tentu doa tak putus-putus kita panjatkan. Seiring dengan itu, atas dasar tawhid dan fastabiqul khairaat—titah al-Quran untuk berlomba-lomba menjalankan kebaikan—kita juga tak putus berusaha dengan berbagai cara agar pandemi ini segera berakhir. Paling kurang, tentu saja, kita berusaha menjaga diri dan keluarga masing-masing.

Bagi kawan-kawan pengurus kebijakan publik, kita wajib sadar bahwa ini adalah salah satu periode terberat bagi APBN. Di saat produktivitas turun, berbagai biaya untuk recovery bencana harus dialokasikan. Kalau dalam beberapa krisis sebelumnya, seperti pada akhir 1990-an, kita masih bisa leluasa bekerja membantu negara, saat ini akal-pikiran kita sepertinya ditantang lebih keras lagi.

Itu sebabnya saya tak ingin menyerah atas terjadinya beberapa kesemrawutan bantuan sosial saat ini. Meski harus bekerja di rumah, misalnya, saya berusaha mempelajari lagi soal Kartu Prakerja sesuai Perpres No. 36/2020 dan Permenko No. 3/2020. Di samping sejauh ini tidak menemukan rujukannya pada UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, saya tengah membuat matriks bagaimana aliran uang negara dalam skema Kartu Prakerja ini.

Begitu pula, ketika PSBB menghalangi kehadiran fisik, saya secara aktif berpartisipasi dalam beberapa webinar. Pada minggu ini, misalnya, dalam webinar Satuan Pengawas Internal (SPI) Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia, saya mendapat data dan informasi lebih jauh tentang dampak pandemi terhadap proses belajar-mengajar dan bagaimana pemerintah merespon situasi tersebut.

Sebagai penutup, “All roads lead to Rome” kata peribahasa. Kita biasa menerjemahkannya “Tak satu jalan ke Roma.” Tapi ini bisa diterjemahkan juga bahwa “Semua jalan [bisa dibuat] menuju Roma.” Allaahu a’lam bi al-shawwaab.