blog_img1

Krisis Mengingatkan Laku Belajar

Paling kurang, ada empat momentum dalam hitungan dua pekan ini: Ramadhan, Hari Buruh, Hari Pendidikan, dan yang kurang dikenal, Hari Lembaga Sosial Desa pada 5 Mei. Ketiga momentum nasional ini diperingati dalam konteks krisis pandemik, di mana pemutusan hubungan kerja terus terjadi, pendidikan terpaksa dilakukan secara online, dan perhatian nasional pada desa tambah menguat.

“Kegagalan terbesar di dunia adalah ketika kita berhenti untuk belajar” bunyi sebuah adagium. Dan krisis pandemik saat ini semestinya bisa memaksa setiap orang, lembaga atau organisasi apa pun juga untuk belajar. Sebab, belajar sebagai laku yang semestinya melekat pada manusia kapan dan di mana pun saja adalah prasyarat bagi survival—cara memastikan keberlanjutan hidup.

Khusus bagi umat Islam, Ramadhan ini adalah momentum di mana laku belajar harus betul-betul beriringan dangan laku prihatin. Ramadhan harus betul-betul menjadi momentum bagi jihad al-akbar, perjuangan sungguh-sungguh untuk belajar menjinakkan hawa nafsu, kemarahan, pikiran jahat, dan bentuk-bentuk sikap dan perilaku buruk lainnya. Sehingga, jihad yang disabdakan Rasulullah SAW sebagai lebih berat dari jihad peperangan fisik ini harus memampukan setiap Muslim untuk menjalankan kehidupan yang cerdas.

Sementara itu, Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei lalu adalah momentum yang semestinya eksepsional bukan karena ketidakmeriahannya. Peringatan di masa pandemi seharusnya berbeda karena ia mencambuk setiap orang untuk belajar dan berusaha berubah secepat dan sekuat mungkin. Sebab, jika tidak, pendidikan yang memungkinkan kita mengubah “jendela menjadi pintu” atau “cermin menjadi jendela” dalam masa krisis ini akan sulit terwujud.

Sebelum itu, Hari Buruh telah mengingatkan kita untuk sungguh-sungguh belajar kembali tentang politieke toestand—pendirian Bung Karno tentang keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, berkumpul, mengkritik, dan bebas berpendapat. Bukan hanya bagi para pengurus negara, tetapi juga bagi semua khalayak yang peduli akan kesejahteraan sosial, Politieke toestand adalah prasyarat di mana cacat-cacat pengelolaan urusan publik bisa dipelajari dan diperbaiki serta gagasan-gagasan baru bagi inovasi bertambah.

Dalam konteks ini, mari kita catat bahwa polemik soal kartu pra-kerja terjadi karena politieke toestand lupa diindahkan. Asumsi kebijakan yang semestinya bersandar pada proses dialektis—di mana pembuat kebijakan wajib sensitif atas situasi dan kondisi buruh dan mendengar serta melibatkan suara-suara yang berbeda—entah kenapa diabaikan.

Sebagai contoh, di mana ini juga menunjukkan bahwa kualitas komunikasi di kalangan pembuat kebijakan sendiri wajib diperbaiki, program kartu pra-kerja ternyata tak melibatkan semua departemen terkait. Secara manajerial kepemerintahan, oleh karena itu, karut-marut yang terjadi hari-hari ini menjadi konsekuensi logis yang tak terhindarkan.

Aplikasi yang mengambil untung dari infrastruktur teknologi informasi ini, umpamanya, ternyata tak melibatkan Kementerian Informasi dalam penyusunan konten. Demikian pula, substansi pelatihan dalam modul-modul pelatihan dalam program ini ternyata tak meminta persetujuan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).

Padahal, dalam catatan saya, Kemenaker memiliki data yang lengkap: jenis pelatihan, jenis usaha, angkatan kerja, pengangguran, data dan peta korban pemutusan hubungan kerja dan seterusnya. Sehingga adalah hal yang amat aneh jika pengemudi ojek online (OJOL) disuruh belajar untuk menjadi OJOL. Tak aneh kemudian ketika program Kartu Pra-Kerja ini menjadi ruwet karena diluncurkan tanpa data dan apalagi jika mencari data sambil mengucurkan uang.

Tanpa mengabaikan niat baik akan keterdidikan para pencari kerja, dalam pancaroba pandemik ini, ada baiknya kita fokus pada program bantuan sosial yang lebih terukur karena berbasis data. Sejak  Kementerian Sosial dipimpin Khofifah Indar Parawangsa, Idrus Marham, Agus Gumiwang dan kini Juliari Batubara, Bansos sudah berjalan baik, tak bisa lagi dipolitisasi. Bansos sudah dijalankan sedemikian rupa melalui sistem perbankan yang penuh regulasi.

Satu catatan lagi, program Bansos melalui bank ini adalah keberhasilan pemerintahan Presiden Jokowi sendiri melalui Kementerian Sosial terkait perbaikan sistem distribusi. Tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kementerian Sosial dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) telah melakukan verifikasi dan validasi untuk 15 juta Kelompok Penerima Manfaat (KPM). Sehingga saat ini, Indonesia adalah satu-satunya negara yang menjalankan bantuan sosial melalui sistem perbankan dan ditiru oleh Australia. 

Pada minggu ini juga, pelajaran berikut adalah terkait keberadaan desa-desa dan lembaga-lembaga sosial di dalamnya. Di sana ada Koperasi Unit Desa (KUD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).  Dalam masa pandemi ini, ketika subsistensi menjadi isu utama—dan tentu tak sedikit korban pemutusan hubungan kerja kembali ke desa—perhatian wajib ditumpahkan lebih serius ke sana.

Jauh sebelum pandemi terjadi, saya pernah aktif sebagai Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Wakil Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin). Saya masuk ke dalam kedua organisasi tersebut karena sadar bahwa Usaha Mikro, Kecil dan menengah (UMKM) dan pertanian adalah jalur cepat menuju ketahanan ekonomi dan pangan bangsa ini.

Seiring dengan itu, saya membina sejumlah koperasi dan KUD, yang diikhtiarkan sebagai penerapan ilmu saya di Grameen Bank dan hasil kuliah di International Executive Development Programmes (IEDP). Bermula di Bangladesh, Grameen Bank adalah organisasi kredit mikro yang memberikan pinjaman kecil kepada orang kurang mampu tanpa membutuhkan agunan, khususnya perempuan.

Hanya saja, pada waktu itu, sistem Grameen Bank dan Credit Union ternyata tidak bisa diterapkan di Indonesia, yakni untuk menjadi Koperasi Tanggung Renteng. Sebab, di Indonesia diperlukan pendampingan ketat sekaligus pemberdayaan dengan sistem guliran berjenjang baik jumlah maupun setorannya. Sehingga, yang bisa berhasil rata-rata adalah Koperasi Karyawan karena bisa menggunakan mekanisme potong gaji.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa dalam usaha mikro sektor informal semua transaksi dilakukan secara tunai sehingga uang tidak mengendap di bank atau perusahaan aplikasi. Para pelaku usaha kecil ini menerima tunai dan berbelanja tunai: kerja sore, jual mulai subuh, siang terima untung. Sektor ini tak boleh mati, karena inilah yang menjadi dasar bagi ekonomi canggih kaum pintar.

Oleh karena itu, harus ada skema asuransi penjaminan, sebagaimana halnya Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo). Kredit Usaha Rakyat (KUR) itu lebih murah ketika sejak 2010 negara memberikan setoran modal sebesar 1 triliun per tahun untuk Askrindo  dan Jamkrindo, yakni dalam rangka menjamin premi usaha kecil menengah (UKM) melalui imbal jasa penjaminan (IJP). Sekarang, hal ini sudah dimasukkan ke dalam skema subsidi.

Dan berita baiknya lagi, Presiden Jokowi sudah meluncurkan Skema Perlindungan dan Pemulihan UMKM di tengah pandemi Covid-19. Di dalamnya, tercakup siapa saja penerima bantuan sosial pemerintah, insentif perpajakan, relaksasi dan restrukturisasi kredit UMKM, simulus bantuan modal kerja darurat, dan penyerap hasil produksi. Hemat saya, semua kementerian terkait segera membuat peraturan menteri (Permen) dan surat edaran (SE).

Ketika program pertama dan kedua sebenarnya sudah berjalan, Lembaga Pengelola Dana bergulir (LPDB), Permodalan Nasional Madani (PNM), dan Bank BUMN harus secepatnya  bergerak untuk program ketiga dan keempat. Sedangkan untuk program kelima, perlu dilengkapi aspek teknisnya dan sebaiknya Pemerintah Daerah (Pemda) dilibatkan. Wallaahu a’lam bi al-shawwaab.