blog_img1

Kepercayaan dan Komitmen di Masa Krisis

“Like Abraham Lincoln, I am a firm believer in the people, and, if given the truth, they can be depended upon to meet any national crises. The great point is to bring before them the real facts” (Gen. Douglas MacArthur, April 1944).

Yustinus Pastowo, seorang ahli perpajakan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). Dia pernah ditawari oleh Presiden Joko Widodo sebagai Staf Khusus di masa normal sebanyak dua kali, dan selalu dia tolak. Tetapi ketika Sri Mulyani Indrawati menawarkannya untuk mengabdi pada negara sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus tak lagi menolak. Alasannya, seperti diberitakan Investor Daily (13/4/2020), karena ini adalah masa sulit, masa krisis. Ia memutuskan menerima tugas itu karena justru di masa sulit dan penuh tantangan ini, dirinya terpanggil untuk ikut membantu pemerintah.

Secara psikologis, ini tentu melegakan. Kerelaan hati untuk menerima panggilan negara di masa krisis terkait altruisme, ketika adanya tantangan dalam penugasan tersebut adalah insentif psikologis yang bisa mengokohkan komitmen. Altruisme dan tantangan profesionalisme adalah dua elemen utama bagi  para kesatria bangsa yang bersedia bertarung di garis depan.

Sebagai profesional dan politisi yang juga mengurus soal keuangan negara, saya berpandangan bahwa pilihan Menteri Keuangan tak salah. Rakyat, para pelaku ekonomi dan aparat sipil negara yang mengurus ekonomi, khususnya di sektor keuangan, butuh komunikasi kebijakan-kebijakan keuangan yang bijak, terbuka dan jelas. 

Sebab ini adalah masa krisis yang tak tahu kapan akan berhenti. Di tengah wabah tersebab virus corona, yang diperkirakan belum tentu akan berhenti dalam 4-5 bulan ke depan, juga ada bencana banjir dan Gunung Merapi serta Gunung Krakatau yang mulai menunjukkan gejala meletus.

Jika para pejabat publik betul-betul ingin “mengurus” kepentingan rakyat semesta—arti sebenarnya dari konsep to govern seperti dinyatakan Bung Hatta, bukan “memerintah”ini adalah momentum untuk berpikir jelas, bersikap jelas dan bertindak jelas. Publik butuh kejelasan kebijakan karena atas dasar itulah mereka juga bisa berpikir, bersikap dan bertindak.

Terkait hal ini, mari kita belajar lebih jauh dari para tokoh dunia. Jenderal Douglas MacArthur (1880-1964), panglima perang Amerika di kawasan Pasifik di tengah badai krisis yang amat sulit dalam Perang Dunia II, memberi resep yang tepat.

“Sebagaimana Abraham Lincoln,” katanya, “saya adalah orang yang betul-betul percaya pada [kekuatan] rakyat, dan, jika diberi kepercayaan, mereka bisa diandalkan dalam menghadapi krisis nasional apapun. Hal paling pokok adalah memberitahu mereka tentang fakta-fakta yang sebenarnya.”

Kutipan yang dalam berbagai teks diatribusi sebagai ungkapan Abraham Lincoln (1809-1865) ini pada dasarnya bersandar pada konsep tentang daya tahan alami, sosio-kultural dan ekonomi rakyat. Jika kita mengenal tentang sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Hankamrata)—di mana penekanannya adalah pada pertahanan negara (state defense)—maka ini juga mengacu pada ketahanan rakyat (people resilience) dalam melanjutkan hidup meskipun dengan serba kekurangan, dalam keterancaman serta dihantui ketakutan.

Bagi rakyat Amerika, kita baca, perang Dunia II pada awalnya adalah sesuatu yang tiba-tiba di tengah kedamaian mereka di saat mana Eropa dan Asia telah diamuk perang. Mereka tersentak ketika Pearl Harbour dibombardir Jepang dan tiba-tiba saja para ibu harus rela mengirim putra-putra mereka ke medan perang yang kejam, ekonomi negara disedot habis-habisan untuk berperang dan mereka harus hidup menempuh krisis yang getir.

Dan, belajar dari strategi Lincoln menghadapi kejamnya perang sipil Amerika (1861-1865), MacArthur bertumpu pada partisipasi sosial, di mana keterinformasian (informedness)—meski sepahit apapun—adalah dasar bagi kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak rakyat. Ini tidak saja dilakukan di dalam negeri Amerika sendiri, tetapi juga di wilayah Pasifik di mana beliau harus memenangkan perang.

Kini, dalam kasus badai pandemi corona, kita harus sama-sama sampai pada kearifan ini. Sebab, hemat saya, sebagian kita masih terjebak dalam sengkarut birokrasi, ketidakmengertian tugas dan fungsi, serta budaya belajar yang buruk. Sehingga, dengan kesalahan informasi dan cara komunikasi tersebut, ketidaktahuan sebagian besar masyarakat terus bereproduksi dan itu menjerumuskan mereka.

Alhasil, di samping para pelaku ekonomi yang diliputi kebingungan, sebagian tindakan yang diambil rakyat dan para pengurus mereka di akar rumput menjadi asumtif, berbumbu prasangka dan salah kaprah. Lihat, misalnya, bagaimana pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dimaknai rakyat dengan menutup jalan. “Takut Virus Corona masuk,” kata mereka.

Jika kita ingin betul-betul mengandalkan kekuatan rakyat supaya bisa keluar dari krisis—ketika jalan lain sebenarnya tak ada kecuali jika wabah ini akan secara tak manusiasi dijadikan sebagai proses population check, yakni cara alami mengurangi jumlah penduduk—kunci lain di samping keterinformasian masyarakat adalah terlihatnya komitmen sungguh-sungguh dari siapa pun yang berbicara di corong publik.

Dalam pengalaman panjang mengurus perbankan, menjadi anggota parlemen dan kini di BPK RI, komitmen politik (yang intinya adalah keikhlasan bekerja sungguh-sunguh bagi rakyat)  seperti mata kuliah paling sulit dan tanpa rumus. Ia lebih sulit daripada belajar ilmu politik itu sendiri, ataupun belajar tata negara, postur keuangan atau APBN.

Oleh karena itu, komitmen yang sungguh-sungguh sebagai perkara sikap dan tindakan butuh kekuatan batin dan hasrat belajar yang kuat dari setiap penyelenggara negara.  Wallaahu a’lam bi al-shawwaab.