blog_img1

Corona, Subsistensi dan Kredit

Tak semua orang di negeri ini hidup dari gaji—penghasilan tetap dari negara, perusahaan atau lembaga mapan yang sanggup menanggung rugi. Sebaliknya, sebagian besar rakyat Indonesia adalah self-employed, orang yang mempekerjakan diri sendiri dalam ribuan sektor informal dengan modal kepintaran dan keringat sendiri, atau buruh yang berpenghasilan dengan hitungan hari.

Tentu saja tak semua mereka betul-betul menikmati kehadiran negara. Kebijakan-kebijakan ekonomi tak terasa langsung mengubah hidup mereka. Bagi sebagian besar mereka, bisa makan hari ini adalah berkah, sementara bisa makan esok hari masih misteri. Tantangan terbesar mereka masih pada urusan subsistensi, kebutuhan dasar paling bawah dalam hirarki Maslow.

Berdasarkan data pemerintah, yakni sesuai rencana anggaran bantuan sosial dalam APBN 2020, terdapat 15,6 juta orang yang mendapat kartu sembako, dengan anggaran mencapai 28,1 triliun rupiah. Sementara itu, di samping mereka yang menerima kartu sembako ini, yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin, terdapat 74,093 juta pekerja informal. Dalam hitungan Badan Pusat Statistik (BPS),  pekerja informal ini menjadi mayoritas angkatan kerja Indonesia, mencapai persentase 57,28 persen.

Ketika kini badai ekonomi melanda, tersebab pandemi virus corona yang belum terkendali, nasib puluhan juta ini tentu perlu mendapat perhatian. Secara makro, daya beli akan terpuruk ketika ekonomi hanya bisa tumbuh sekitar 4 persen atau bahkan bisa terperosok menjadi 2,5 persen atau bahkan 0 persen. Harga barang-barang kebutuhan pokok akan melonjak, apalagi yang mudah dimonopoli dan jika negara tak cepat-cepat turun tangan.

Berita baiknya, pada 18 Maret 2020, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan bahwa negara sudah siap dengan segala kemungkinan. Ketika orang akan lebih banyak menyimpan uang dan stimulus ekonomi dengan adanya Lebaran, THR, dan gaji ke-13 juga diprediksi tak akan terlalu berpengaruh dalam menggerakkan roda ekonomi, pemerintah siap mengantisipasi kecukupan logistik atau kebutuhan pokok. Pemerintah bahkan sudah mengantisipasi jika diperlukan lock-down, karantina wilayah dan sebagainya.

Seiring dengan itu, pada 24 Maret 2020, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menginformasikan bahwa pemerintah berkemungkinan besar akan menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Target utama bantuan adalah masyarakat yang bekerja di sektor informal dan pekerja harian. Sektor informal yang akan dibantu mencakup warung dan toko-toko kecil. Di antara pekerja harian yang akan diberikan BLT adalah mereka yang terdampak karena bekerja di pusat-pusat serta para sopir ojek daring.

Sedangkan BLT untuk rumah tangga termiskin akan diberikan kepada sekitar 29 juta orang, di mana 15,2 juta di antaranya adalah penerima program Kartu Sembako dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Sementara  14,1 juta orang lagi akan dikoordinasikan dengan pemerintah di 34 provinsi.

Terkait kebijakan relaksasi kredit, pada 28 Maret 2020, telah diterbitkan Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. Kebijakan ini adalah dalam rangka membantu debitur untuk keringanan pembayaran, bukan penundaan, yakni melalui skema restrukturisasi, penyesuaian jangka waktu, serta penyesuaian besaran cicilan atau turun bunga.

Dengan cara ini,  proses pembayaran kredit diharapkan akan tetap lancar.  Nasabah tetap wajib membayar cicilan bulanan, di mana besaran dari pembayaran diserahkan kepada masing-masing Bank atau Lembaga Keuangan (LK).

Namun demikian, dalam hal ini bank tentu saja tak bisa bergerak serta-merta. Kebijakan pemerintah tersebut memerlukan peraturan, petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis). Sebab industri keuangan adalah sektor yang fully regulated, yang mengacu pada Banking International Settlement. Sehingga, tak mengherankan kalau sejauh ini berbagai bank belum menjalankan kebijakan tentang stimulus perekonomian nasional terkait relaksasi kredit.

Distribusi dan Pengawasan

Di tengah pernyataan tentang kesiapan pemerintah menghadapi situasi ekonomi terburuk terkait pandemi Covid-19, serta kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan, beberapa catatan perlu diperhatikan.

Catatan paling penting adalah mengenai aspek distributif dari setiap bantuan. Setiap pihak harus menggarisbawahi hal yang menjadi catatan khusus Menteri Keuangan ini. Menurut menteri kawakan yang sudah mengelola ekonomi Indonesia sejak era pemerintahan SBY ini, diperlukan suatu sistem distribusi, di mana mesti terdapat sumber daya manusia yang benar-benar bisa menjalankannya.

Jika bantuan seperti BLT akan ditangani melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebagai organisasi induk kebencanaan, harus dipastikan ketersediaan sistem distribusi yang menjangkau seluruh kantong-kantong masyarakat di seluruh Indonesia. Pemerintah pusat dan BNPB harus berul-betul berkoordinasi dan bekerjasama dengan pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Melekat dengan sistem distribusi adalah perkara akurasi data dari sasaran penerima dan sistem pengawasan penyaluran. Kedua hal ini, jika tidak ditangani secara saksama, akan menjadi penyebab keresahan sosial dan bahkan konflik.

Supaya bisa benar-benar sistemik dan transparan, pendataan dan penyaluran harus melibatkan perangkat pemerintahan sampai tingkat paling bawah serta terbuka bagi masyarakat banyak. Sedangkan untuk pengawasan, akan sangat tepat jika lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut secara langsung memantau sekaligus mengaudit program-program bantuan.

Persoalan data ini pada dasarnya sedikit pelik, terutama karena ini bersifat darurat dan sejumlah besar calon penerima bantuan belum terdata. Untuk BLT, misalnya, data calon penerima yang tersedia hanya 15 jutaan, yakni jika merujuk data penerima Kartu Sembako dan penerima BPNT. Sedangkan 14 jutaan lainnya, jika asumsi bahwa terdapat 29 juta calon penerima tepat adanya, masih misteri. Selain data BPS, kerjasama apik dengan Pemprov sampai ke tingkat Pemkab/Pemkot akan sangat menentukan.

Di samping itu, kita tentu juga tak bisa mengabaikan faktor demografis, di mana migrasi penduduk seperti dari kota ke desa atau antar daerah harus betul-betul didata. Selain kerja keras dan kerjasama yang erat antara Pemkab/Pemkot dengan sistem pemerintahan di bawahnya, pemanfaatan teknologi informasi harus betul-betul dimaksimalkan.

Catatan lainnya, terkait data para debitur, kita tentu tak perlu terlalu cemas. Bank-bank serta LK kreditur tentu punya data yang valid sehingga jika regulasi disertai juknis dan juklak sudah terbit, relaksasi kredit langsung bisa dijalankan.

Hanya saja, data mengenai UKM atau UMKM yang tak terdaftar sebagai debitur bank atau LK perlu mendapat perhatian. Pemerintah harus secepatnya membuat skema yang sistemik dan massif, sehingga mereka tetap bisa menyambung hidup  meskipun, misalnya, terpaksa gulung tikar karena ekonomi yang lesu.  Allaahua’lam bi al-shawwaab. (Akurat.co, 1 April 2020)