blog_img1

Bencana dan Semangat Keagamaan

Adalah manusiawi jika saat ini banyak yang gelisah atau bahkan ketakutan setiap kali berita atau cerita tentang virus corona terlihat atau terdengar. Pandemi virus ini telah menjadi hantu yang menakutkan seantero dunia, baik karena kecepatan penyebaran dan korban yang berjatuhan maupun dampak sosio-ekonomi yang diakibatkannya.

Di tengah kecamuk kekuatiran dan rasa takut, penggunaan akal sehat tentulah tetap yang utama. Dalam hal ini termasuk keyakinan akan penanganan dan pengobatan berbasis ilmu-kedokteran sebagai sandaran utama serta keyakinan akan kepemimpinan pemerintahan saat ini dalam penanganan secara sosio-politik-ekonomi. Kita harus terus menghargai keselamatan jiwa, mengikuti anjuran pemerintah, mengkarantina diri jika terdampak dan berusaha kapan saja memungkinkan untuk menghindari keramaian (self-isolation and social distancing).

Sementara itu, sebagai masyarakat religius-spiritual adalah seyogyanya memanjatkan doa dan pengharapan kepada Yang Maha Kuasa. Ikhtiar wajib kita lakukan, doa terus kita panjatkan. Almarhum ayah saya (KH Bahaudin Mudhary) saat wabah kolera melanda Madura, mengajarkan doa ini, Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim”. Artinya: “Dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam konteks ini, tradisi agama-agama di Indonesia mengajarkan bahwa menghadapi bencana adalah bentuk pembelajaran spiritual. Bencana harus diterima dan diatasi sedemikian rupa sehingga manusia tidak saja menjadi lebih arif-bijaksana, tetapi juga lebih kuat dalam mengarungi kehidupan.

Namun demikian, soal penggunaan akal sehat dan pembelajaran spiritual di tengah ketakutan akan pandemi ini ternyata bukan perkara mudah. Sejak pertama kali diumumkan bahwa Indonesia sudah dimasuki virus corona pada awal bulan, panic buying terjadi di berbagai tempat. Kebutuhan pokok diborong dan perlengkapan kesehatan harian seperti masker dan sanitizer dan menjadi langka.

Hal yang lebih membahayakan, beberapa pemimpin politik, agamawan dan pejabat publik bicara dalam batas luar akal sehat. Seperti halnya masyarakat awam yang misinformed atau uninformed, mereka terjebak dalam kedangkalan pikiran, mitos, hoaks, serta praktik keagamaan yang digerakkan oleh kegairahan membabi-buta (overzealousness).

Sebagai contoh, di tengah kekalutan masyarakat, virus corona dikait-kaitkan dengan ras, suku bangsa, negara atau aliran tertentu.  Bahkan dari mimbar-mimbar keagamaan, beberapa agamawan demikian bersemangat menyebar dan memelintir kebencian.

Hal yang sama juga terjadi di media sosial dan berbagai media massa online yang dikelola kelompok-kelompok keagamaan tertentu. Hoaks dan berita-berita tanpa basis fakta dan sains bertebaran lebih cepat dari virus corona itu sendiri.

Pendapat para pemimpin politik atau pejabat publik lebih mudah diluruskan seiring perkembangan situasi, karena pada umumnya mereka salah bicara dalam kesempatan doorstop. Tak demikian halnya dengan apa yang dilakukan agamawan dan pembuat serta penyebar hoax. Mimbar-mimbar keagamaan dan media massa daring maupun sosial lebih tak terkendali.

 

Nalar, ilmu dan kecerdasan sosial

Relevan dengan situasi ini, dalam konteks ber-Islam di Indonesia, ada satu kata mutiara yang bisa menjadi pokok renungan. “Seorang yang ahli ilmu (al-dzakiy),” demikian bunyinya, “akan memperoleh dengan satu kali menalar, apa yang tak akan diperoleh oleh seorang anti-ilmu (al-ghabiy) meski dengan kehadiran seribu bukti.”

Kata-kata bijak namun tajam tersebut dikutip pada pendahuluan kitab Al-Bayaan, sebuah buku Ushul al-Fiqh (asas-asas hukum Islam) yang ditulis oleh Abdul Hamid Hakim, ulama asli Indonesia, pada 1929. Kitab ini sendiri adalah salah satu kitab yang masih terus dipakai di berbagai pondok pesantren dan perguruan tinggi Islam di seluruh Indonesia hingga saat ini.

Sebagaimana prinsip-prinsip hukum pada umumnya, dalam kata mutiara di atas, soal nalar dan perspektif (al-nadzr) serta bukti atau saksi (syaahid) adalah perkara terpenting, termasuk dalam menimbang sikap dan tindakan menghadapi virus corona ini. Setiap pikiran, pandangan atau ekspresi yang terlahir tanpa proses penalaran dan pembuktian tak  boleh diterima dan dipakai.

Kata mutiara ini, secara lebih ideologis, menurut saya ditopang oleh prinsip laa diina liman laa ‘aqla lah, orang yang sanggup beragama itu adalah mereka yang punya akal, apalagi bagi mereka yang bertugas mengurusi agama itu sendiri. Sehingga siapapun agamawan yang berbicara atau menulis terkait agama, seperti dalam menghadapi bencana virus corona ini, haruslah menimbang secara saksama setiap cetusan pikiran yang melintas dan hendak disampaikan, bahwa hal-hal yang tak masuk akal dan saintifik harus disingkirkan.

Dalam pandangan saya, selanjutnya, terkait dengan semangat keagamaan yang mudah meluap-luap dalam konteks kebencanaan, kita perlu terus mengasah kecerdasan dan keterampilan sosial (social skills). Bahasa lainnya, kita wajib memperbarui kepemilikan akan rasa simpati dan empati, sebagai kualitas internal yang membuat seseorang mampu bersikap welas asih dan peduli.

Simpati sendiri adalah rasa peduli yang melahirkan perhatian dan tindakan tertentu atas apa yang terjadi pada orang lain. Kita biasa mengatakan “Saya bersimpati atas apa yang terjadi.” Sedangkan empati lebih kuat dari simpati. Kualitas diri ini merupakan kemampuan untuk betul-betul memposisikan hati dan pikiran sebagaimana yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain, sehingga seperti  mengidentifikasi diri dengannya. Dalam bahasa Inggris kita kenal ungkapan “Put yourself in someone else’s shoes.”

Indikator paling sederhana dan populer dari kecerdasan sosial adalah sikap yang ditunjukkan dalam interaksi sosial sehari-hari. Seorang yang cerdas secara sosial, atau berempati, akan bahagia mengetahui atau menyaksikan kebahagiaan orang lain dan ikut merasa susah ketika melihat atau mendengar orang yang dilanda kesusahan. Sebagai konsekuensi dari sikap ini, tindakan-tindakan yang terlahir pun akan bersifat empatik.

Oleh karena itu, siapapun yang melontarkan ujaran kebencian atau memelintir konsep keagamaan tertentu untuk mewadahi kebencian, misalnya, adalah orang yang pada dasarnya belum memiliki kecerdasan ini. Mereka masih terperangkap dalam sempitnya keakuan dan belum mampu keluar dari cangkang yang membatasi pandangan akan keluasan horison. Alhasil, mereka tak mampu menerima keberadaan yang lain (the others) atau serba-keberbedaan dan masih sibuk dengan pandangan hitam-putih antara diri dan kelompoknya berhadapan dengan orang dan kelompok lain. (Akurat.co, 18/03/2020)