blog_img1

Olahraga, Multikulturalisme dan Transformasi Sosial

Sebuah video menarik beredar di media sosial, konon bermula di Twitter, pada pertengahan Oktober 2019. Hijab seorang pesepakbola perempuan tersingkap sedikit  ketika sedang berusaha menggiring bola dan menghindari kepungan lawan, sehingga menampakkan sebagian rambutnya. Dia tiba-tiba berhenti, berbalik, menunduk, dan berusaha memperbaiki hijabnya.

Para pemain tim lawan, yang sebelumnya mengepung dan berusaha merebut bola, dengan cepat mengelilinginya, membentuk formasi dinding. Mereka melakukan itu untuk memberikan kesempatan kepada pesebakbola tersebut supaya bisa merapikan kembali hijabnya tanpa terlihat oleh penonton.

Selain viral di media sosial, ditonton lebih dari 4,4 juta kali sampai 24 Oktober 2019, kejadian ini diberitakan luas oleh berbagai media berita, mulai dari India Today sampai The Independent. Kejadian ini viral, tulis India Today pada 18 Oktober, karena “… for all the right reasons”. Apa yang dilakukan para pemain Shabab al Ordon, klub sepakbola perempuan yang sedang bertanding melawan Arab Orthodox dalam WAFF Women's Club Championship tersebut, dinilai sangat tepat berdasar kacamata apapun.

Sementara itu, para pemain sebuah klub sepakbola perempuan tersebut menurut Independent.co.uk (24/10/2019) bertindak sangat terpuji karena menunjukkan “kindness and compassion”, kebaikan hati dan welas asih. Harian Inggris yang tanpa afialiasi politik ini juga menyebutnya sebagai pertunjukan keolahragawanan (the display of sportmanship). ESPN bahkan menyebutnya sebagai “bigger than sports” ketika juga ikut membagikan video tersebut.

 

Olahraga dan Multikulturalisme

Dalam jagad sepakbola, kejadian ini mengingatkan kita kembali pada keputusan FIFA pada 2014, saat mana pelarangan hijab dalam pertandingan resmi dicabut. Namun demikian, pertandingan resmi pertama di mana pemain perempuan boleh mengenakan hijab baru pada Oktober 2016, yakni dalam kejuaran Under-17 Women’s World Cup yang diselenggarakan di Amman, Yordania.

Pencabutan tersebut mengakhiri polemik bahkan rangkaian kecaman terhadap FIFA. Selain dipersepsikan bias ideologis, bahkan Islamofobia, kebijakan tersebut tentu saja bisa dilihat sebagai bentuk diskriminasi dan hegemoni kultural. Pasalnya, tradisi berhijab merupakan kebiasaan yang ditemukan di kalangan olahragawati dengan latar belakang keagamaan atau keyakinan tertentu dan bukan sebagai praktik yang umum.

Jika berbicara tentang sportmanship, yang bisa diterjemahkan di sini sebagai keolahragawanan, hal-hal yang bias ideologis atau politis, yang pada gilirannya melahirkan diskriminasi, tentu saja “haram” hukumnya. Sebagai harian yang tak berafiliasi dengan ideologi atau kelompok politik tertentu, sebagai contoh, sportmanship bagi The Independent bisa kita pahami juga sesuai pengertian ini. Sportmanship adalah konsep yang netral, tak memihak dan diacu oleh semua orang yang terlibat dengan olahraga.

Olahraga, dengan jiwa sportmanship yang diusungnya menerima, mengakui dan mengakomodasi multikulturalisme. Pertama-tama, ini tentu saja karena beragam jenis atau cabang olahraga tak berasal dari satu latar belakang kultural. Ada jenis-jenis olahraga yang diklaim khas Eropa, tetapi juga banyak jenis olahraga yang berasal dari benua lain. Singkat kata, harus diakui bahwa kebinekaan cabang olahraga, terutama yang dipertandingkan di seluruh dunia, adalah representasi dari kebinekaan kultural yang ada di muka bumi ini.

Ketika ribuan atlet sebuah negara mempelajari dan berlatih sebuah olahraga yang bukan berasal dari negara mereka, bisa dikatakan bahwa mereka sedang membangun cross-cultural understanding, suatu pemahaman lintas budaya. Hal sama berarti juga dilakukan oleh berjuta-juta atlet di seluruh dunia. Pemahaman yang bisa jadi sama, mirip atau mungkin saja berbeda tersebut kemudian disatukan dalam satu wadah, ketika dikompetisikan atau dieksibisikan, berupa lembaga atau organisasi olahraga bersangkutan, lengkap dengan segenap tata aturan yang dibuat universal dan berlaku untuk semua.

Aspek multikulturalisme berikutnya, oleh karena itu, adalah terkait dengan latar belakang keragaman para atlet meskipun mereka bermain atau bertanding dalam satu olahraga yang sama. Nama, jenis eksibisi atau pertandingan, tata aturan, serta sistem penilaian boleh jadi sama. Akan tetapi, teknik, strategi atau gaya bermain dan bertanding adalah hak prerogatif atlet atau organisasi olahraga dari mana mereka berasal. Termasuk dalam hal ini soal pakaian atau perlengkapan yang bersifat kultural.

Alhasil, merupakan hal yang sangat naif, seperti yang pernah dilakukan FIFA, ketika menerbitkan larangan berhijab bagi pesepakbola Muslim. Kebijakan tersebut, selain bertentangan secara dasariah dengan prinsip-prinsipn sportmanship, juga menafikan aspek multikulturalisme dalam sepakbola.

 

Olahraga dan Transformasi Sosial

Sebagai orang yang sudah cukup lama berkecimpung dalam olahraga, khususnya sepakbola, baik di PSSI maupun dalam mengurus klub sendiri, olahraga yang bersifat massal, menurut saya, berfungsi transformatif secara sosial. Olahraga bukan hanya soal kesehatan, bisnis atau simbol kebanggaan politik sebuah negara atau golongan.

Sepakbola, sebagai contoh, ketika dimainkan dengan jiwa sportmanship dan dikelola secara baik dan benar, bisa tumbuh menjadi simbol yang mengikat hati jutaan orang dan mengajak mereka melakukan kebajikan. Meskipun, tentu saja, jika dikelola secara salah, ia juga bisa menjadi sebab anarki, konflik dan kekerasan.

Dalam kisah yang viral dalam video di atas, sportmanship yang dipertontonkan segelintir pemain meluluhkan hati empat juta lebih warga dunia maya. Bahkan lebih jauh dari sekadar simpati, penerapan sikap welas asih terhadap lawan tersebut menggugah orang-orang yang menonton untuk meneguhkan sikap untuk mendukung praktik multikulturalisme, penghormatan sungguh-sungguh terhadap pilihan keyakinan setiap orang.

Aspek transformatif ini, tentu saja dengan prasyarat bawa para atlet dan pengelola olahraga terus-menerus mempraktikkan sportmanship, dengan sendirinya akan menjadi benteng kokoh dalam menghadapi pikiran-pikiran berbahaya dalam olahraga. Sebab, kebijakan pelarangan hijab oleh FIFA hanyalah satu contoh dari berbagai kebijakan aneh lain yang mungkin saja diambil. (Akurat.co, 11/03/2020)