blog_img1

Memimpin Tanpa Menyalahkan

Di sepanjang 2019, indikator pertumbuhan investasi berdasarkan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh 4,45 persen. Angka ini lebih rendah dari realisasi pada 2018 yang mencapai 6,64 persen. Sementara itu, dalam skenario pemerintah, investasi diharapkan bisa bertumbuh di atas 6 persen.

Jika dilihat per kuartal, investasi hanya bertumbuh 4,06 persen pada kuartal IV 2019. Angka ini lebih rendah dibanding kuartal IV 2018 yang mencapai pertumbuhan 6,01 persen dan kuartal III 2019 sebesar 4,21 persen.

Adalah wajar kemudian jika Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengingatkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, soal ketidaktercapaian target investasi pada 2019 tersebut. Sebab, dengan kontribusi PMTB yang signifikan terhadap laju perekonomian, pertumbuhannya harus dimaksimalkan.

Hanya saja, dalam Peresmian Rakornas Investasi 2020, Jakarta, Kamis (20/2), Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, menunjukkan sikap kepemimpinan yang kurang elok. Alih-alih berbicara tentang pokok, duduk dan solusi persoalan, beliau mengkritik karut-marut investasi di Indonesia. Promosi dan tentu saja pengelolaan program investasi selama ini, menurut beliau, bukan atas dasar fakta dan data.

Secara verbatim Bahlil menyatakan bahwa “… kami mengarang bebas dengan Indonesia kaya, punya penduduk 270 juta, tapi begitu ditanya tambangnya di mana, izinnya di mana, enggak punya (data) kami." (CNN, 20/2). Juga diungkapkan bahwa tak ada peta-peta identifikasi ataupun inventarisasi sumber daya alam yang hendak dipromosikan. 

Kepala BKPM tentu lebih elok jika bicara tentang reaksi positif apa saja yang telah dilakukan BKPM terkait fakta-fakta “ngarang” tersebut. Daripada memilih “mengadu” pada  Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan meminta [data-data] pada Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Dalam 14 fungsi BKPM, kita tahu, fungsi pertamanya adalah “pengkajian dan pengusulan perencanaan penanaman modal nasional.” Artinya, adalah kewajiban BKPM untuk mengkaji dan menyusun desain investasi, di mana di dalamnya termasuk pelaksanaan riset menyeluruh terkait fakta dan data investasi.

Sesuai konteks tulisan ini, kasus di atas hanyalah sampel saja dari tantangan kepemimpinan publik dan politik Indonesia saat ini. Bahwa di tengah berbagai tantangan dalam dinamika sosio-ekonomi-politik kita, kearifan dan kebijaksanaan pejabat publik semestinya mengalahkan egosentrisme pribadi dan ego sektoral.

Ilmu kepemimpinan dan manajemen mengajarkan pada kita tentang bahaya jika seorang pemimpin berorientasi menyalahkan. Pemimpin yang hebat semestinya selalu bersikap positif dan mendorong atau bahkan memfasilitasi orang lain. Sementara pemimpin yang buruk cenderung bersikap negatif dan menyalahkan orang lain.

Dalam konteks kepemimpinan politik di Indonesia, fenomena menyalahkan (blaming) atau mencari-cari kesalahan bisa jadi telah menjadi sesuatu yang biasa. Bahkan kita bisa melihat hal itu dilakukan terhadap para pemimpin dalam posisi yang paling tinggi. Seolah-seolah, tindakan menyalahkan, mengkambing-hitamkan atau menyerang balik secara membabi-buta jika dikritik akan menyelesaikan persoalan.

Setelah Presiden Sukarno jatuh dan mulai menjalani tahanan rumah pada paruh akhir 1960-an, misalnya, berbagai sikap dan perilaku menyalahkan muncul di mana-mana. Meskipun beliau sendiri, kita baca, mengakui kesalahan yang dilakukan terkait pemaksaan ideologi Nasioalis-Agama-Komunis (Nasakom), banyak tuduhan, umpatan dan celaan yang tak pantas dan tentu saja salah alamat.

Demikian pula setelah Presiden Suharto lengser dari kursi presiden pada 1999. Terlepas dari berbagai kesalahan yang pernah beliau lakukan, tak sedikit tokoh publik dan pemimpin politik yang secara keji menghujat pribadi dan berbagai kebijakan politik dan pembangunan yang telah beliau gagas dan lakukan.

Setelah masa kepemimpinan para presiden berikutnya, BJ Habibie, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meskipun tak sehebat terhadap Presiden Sukarno dan Suharto, tradisi salah-menyalahkan juga seperti tak berhenti. Kecenderungan yang masih mudah kita lihat tentulah orientasi menyalahkan terhadap mereka yang menjadi pejabat publik di masa kepemimpinan Presiden SBY.

Meskipun tak terlalu mengemuka di ranah publik, perilaku menyalahkan juga terjadi di kalangan pejabat negara maupun daerah. Pejabat yang baru menyalahkan pejabat sebelumnya, dan sebaliknya, pejabat yang lama, jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan menyalahkan pejabat petahana.  

Di tengah tradisi salah-menyalahkan ini, sebuah survei terbaru yang dilakukan Indo Barometer seperti mengajak kita kembali kepada akal sehat. Bahwa dalam relasi sosio-politik, horizontal maupun vertikal, jasa atau perbuatan baik tak akan pernah pupus dari ingatan publik. Dan inilah semestinya yang menjadi salah satu patokan dalam mengelola urusan masyarakat.

Salah satu hasil survei yang dirilis Indo Barometer (23/2/2020) adalah tingkat kepuasan masyarakat terhadap tujuh Presiden yang pernah memimpin Indonesia. Presiden yang paling disukai secara berurutan adalah Soeharto (23,8 persen), Joko Widodo (23,4 persen), Soekarno (23,3 persen), Susilo Bambang Yudhoyono (14,4 persen), BJ Habibie (8,3 persen), Abdurrahman Wahid (5,5 persen) dan Megawati Soekarnoputri (1,2 persen). 

Terkait keberhasilan Presiden Suharto menjadi presiden yang paling disukai masyarakat, kita tak bisa begitu saja melihatnya sebagai semacam romantisme. Ada semacam konsistensi di sini. Survei serupa yang dilakukan Indo Barometer pada 2011 juga menempatkan mantan Presiden Soeharto (36,5 persen) di urutan pertama. Setelah itu terdapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (20,9 persen) sebagai petahana, Soekarno (19,8 persen), Megawati Soekarnoputri (9,2 persen), BJ Habibie (4,4 persen), dan Abdurrahman Wahid (4,3 persen). 

Kearifan dan kebijaksanaan untuk menghargai jasa-jasa para pendahulu maupun kolega sesama pejabat publik, hemat saya, selain tumbuh dari sikap hati-hati, adalah soal keberanian untuk menghargai dan mengormati dalam nurani. Setiap orang di masa lampau harus dipandang sebagai telah berkontribusi bagi masa kini dan oleh karena itu harus mendapat tempat.

Allaahu a’lam bi al-shawwab. (Akurat.co, 26/2/2020)