blog_img1

Industri Sawit dalam Pusara Konflik Indonesia-Eropa

Lagi-lagi sawit. Industri kelapa sawit Indonesia kembali menjadi akar dalam pusara konflik dagang antara Indonesia dan Uni Eropa (UE). Sejak industri kelapa sawit Indonesia tumbuh dan berkembang serta berhasil mendominasi pasar internasional, khususnya di Uni Eropa, beragam persoalan tentang industri sawit terus dimunculkan mulai dari isu kesehatan, pekerja dibawah umur hingga alasan kurasakan lingkungan.

Yang terbaru, pada Maret 2019 lalu, Komisi Uni Eropa meloloskan peraturan pelaksanaan Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II). Dalam peraturan tersebut, Uni Eropa bersepakat memasukkan minyak sawit sebagai kategori tidak berkelanjutan sehingga tidak bisa digunakan untuk biodiesel. Alasannya tentu lagi-lagi soal lingkungan. Uni Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global.

Hasil kajian Komisi Eropa menyebutkan bahwa sekitar 45 persen dari ekspansi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2008 telah menyebabkan kehancuran hutan, lahan gambut (peatlands) dan lahan basah (wetlands) serta menghasilkan emisi gas rumah kaca secara berkelanjutan. Sementara, dalam kajian itu juga disebutkan bahwa ekspansi lahan produksi minyak kedelai (soybean oil) hanya 8 persen serta minya rape seed dan bunga matahari (sunflower oil) hanya berkontribusi 1 persen pada kerusakan yang sama. Uni Eropa sendiri menetapkan batas 10 persen untuk menentukan produksi tanaman minyak nabati mana yang lebih berbahaya bagi lingkungan. Ketentuan itu diterapkan melalui rumus perhitungan indirect land use change (ILUC). Rumusan ini tentu patut dipertanyakan karena tidak diakui secara universal.

Dengan alasan itu, Uni Eropa berencana melarang secara total pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dimulai 2030 dan pengurangan dimulai sejak 2024. Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II) ini akan dipublikasikan dalam jurnal resmi Uni Eropa.

Bagi Indonesia dan negara-negara penghasil CPO, kebijakan ini tentu saja sangat diskriminatif karena akan berdampak pada perekonomian negara. Indonesia merupakan negara dengan produksi sawit terbesar di dunia. Sebesar 60 persen produksi sawit dunia dihasilkan dari Indonesia. Selebihnya dari Malaysia dan beberapa negara Asia Tenggara. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, Indonesia mengekspor 4,78 juta ton CPO ke Uni Eropa sepanjang tahun 2018, menjadikan Benua Biru sebagai tujuan ekspor kedua sesudah India. Dari jumlah tersebut, sekitar 61% di antaranya digunakan untuk biofuel.

Industri sawit mampu menyerap 3,5 juta pekerja langsung dan kurang lebih 12 juta pekerja tidak langsung. Industri ini juga berkontribusi 4,5 persen terhadap Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia. Disamping itu, tahun 2018, devisa terbesar bagi Indonesia juga disambungkan oleh industri sawit yaitu sebesar USD20,1 milyar.

Bisa dibayangkan, jika kebijakan RED II ini diberlakukan, maka akan berdampak secara signifikan bagi perekonomian negara. Akan banyak pekerja yang terdampak serta dampak-dampak tidak langsung lainnya.

Langkah Antisipasi

Pemerintah Indonesia tentu tidak akan diam dengan keputusan diskriminatif Uni Eropa terkait sawit. Pemerintah perlu menyiapkan beberapa langkah untuk mencegah agar keputusan tersebut tidak diberlakukan. Tentu saja, langkah diplomasi menjadi langkah pertama. Sinergi antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan perlu diperkuat agar kerja-kerja diplomasi dapat berjalan dengan baik. Peran para duta besar Indonesia di Uni Eropa juga harus diperkuat sebagai perpanjangan tangan pemerintah di wilayah tersebut untuk melakukan upaya-upaya diplomasi ke berbagai pihak di Eropa.

Langkah berikutnya adalah melakukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organitation (WTO). Bagi Indonesia, kebijakan ini jelas sangat diskriminatif. Oleh karena itu, jalan terbaik untuk melawan kebijakan ini adalah dengan melakukan gugatan ke WTO. Kita mendukung langkah pemerintah yang sudah menyampaikan gugatan ke WTO melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss. Permintaan konsultasi, sebagai tahap inisiasi awal gugatan, telah dikirimkan pada tanggal 9 Desember 2019 kepada Uni Eropa.

Tentu saja, gugatan ini dilayangkan setelah dilakukan pertemuan dengan asosiasi dan pelaku usaha produk kelapa sawit serta telah melalui kajian ilmiah dan konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya.

Dalam semua usaha itu, Indonesia perlu menyiapkan tim lobby yang kuat untuk bisa melakukan diplomasi dengan Uni Eropa dan gugatan ke WTO. Kita harus memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam diplomasi dan lobby internasional yang banyak mendapat kritik dalam beberapa dekade terakhir. Muncul kebijakan RED II ini bisa jadi karena selama ini lobby kita terhadap Uni Eropa masih kurang. Diplomasi kita masih seadanya.

Situasi inilah yang harus diperbaiki. Jangan sampai, industri nasional kita kembali menjadi korban atas kebijakan-kebijakan sepihak negara lain.[]

Akurat.co, 20 Desember 2019