blog_img1

Menikmati Kebahagiaan di Masa Pandemi

Menyetir VW Beetle menyusuri Jalan Sudirman pada Senin, 1 Juni lalu, lagu Beatles mengalun syahdu ‘Here, There and Everywhere’. “… Knowing that love is to share//Each one believing that love never dies//Watching her eyes and hoping I'm always there//Here, there and everywhere....”

Dalam bahasa Kenneth Womack, “Here, There and Everywhere” adalah balada romantis tentang “hidup dalam kedisinian dan kesekarangan” di mana orang “sepenuhnya mengalami (atau menikmati) momentum sadarnya.” Meskipun, itu dilakukan dengan berimajinasi tentang apa yang dilakukan bersama dia yang tak hadir.

Dalam lagu yang didedikasikan sebagai karya Lennon-McCartney ini dan dirilis dalam album Revolver pada 1966, memang ada pengandaian. Hidup akan terasa lebih baik, to lead a better life, jika dia ada di sini, saat ini. Sehingga, seolah-olah kerinduan akan dia yang tak hadir—sesuatu yang tak ada di sisi—tak bisa luput dari pikiran manusia dan itu dapat mengurangi atau bahkan menegasi kebahagiaan.

Akan tetapi, dilihat dengan cara lain, ini adalah soal cita-cita dan ikhtiar akan hidup. Bahwa, jika mau, setiap orang pada dasarnya bisa memilih hidup seperti apa yang ingin dijalaninya. Dan lebih jauh, dalam bait pembuka stanza berikutnya, kita dengarkan betapa kebahagiaan hidup itu tergantung pada makna yang diciptakan setiap hari—making each day of the year

Di sisi lain, kebahagiaan adalah soal kebersamaan, bahwa ada ruang dan tindakan berbagi. Ketika secara sederhana dibahasakan sebagai situasi saling membutuhkan, ungkapan yang lebih kuat adalah to love her is to need her everywhere, mencinta itu menjadi mungkin jika dia yang mencinta selalu memiliki ruang bagi kehadiran yang dicinta.

Seiring dengan itu, ruang bagi yang dicinta akan senantiasa ada ketika ada kesadaran bahwa mencinta itu adalah soal berbagi, knowing love is to share. Dengan kata lain, kebahagian tak akan dicapai dengan sendiri. Sebab dalam kesendirian tak mungkin menemukan kehadiran dan manfaat diri dalam hidup orang lain—watching her eyes and hoping I'm always there.

Dalam konteks yang lebih luas, mungkin ini seiring dengan apa yang tercantum dalam Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama.

 

“Berhimpunlah anak-anaku bila kegentingan melanda jangan bercerai berai, sendiri-sendiri.

Cawan-cawan enggan pecah bila bersama.

Ketika bercerai, satu persatu pecah berderai.”

Kesendirian, memisahkan diri dari yang dicinta dan mencinta atau menjauh dari komunitas tak akan mendatangkan kebahagiaan. Ketika tindakan menjauh yang dilakukan, di situlah bermula pecah-berderai. Dan apalagi dalam situasi pandemi saat ini, tetap adanya kebersamaan—seperti apapun cara memastikannya—menjadi salah satu kunci kebahagiaan.

Ungkapan bijak yang lain menyatakan bahwa “Yesterday was a history, tomorrow is a mistery and the present is a gift.” Masa lalu bagaimanapun telah menjadi sejarah, ketika hari esok masih misteri dan ada serta keberadaan saat ini oleh karena itu adalah hadiah. Dalam bahasa Inggris, present juga bisa berarti hadiah, sebagai sinonim dari kata gift.

Demikianlah, menyusuri Jalan Sudirman yang tak macet seperti biasanya, sambil mendengarkan musik, saya dibawa pada kesadaran tentang kedisinian (the here) dan kesekarangan (the now). Kelancaran lalu lintas yang biasanya macet menjadi anomali di tengah badai pandemi yang telah menyebabkan pembatasan gerak sosial, perlambatan kehidupan ekonomi dan bahkan masalah-masalah sosial baru.

Namun demikian, Alhamdulillah, keadaan ini tak membuat saya lupa menikmati kebahagiaan dengan cara baru, atau dalam bahasa Lennon-McCartney to lead a better life: menikmati apa yang ada sambil berharap akan sesuatu yang lebih baik. Ini lebih menjadi soal bagaimana membahagiakan diri dengan apa yang sudah dimiliki ketimbang mengutuk berbagai ketiadaan.

Rasa syukur ini juga yang membuat saya gembira ketika diberitakan bahwa umat Islam diminta kembali bersiap ke masjid-masjid. Bahkan dengan bersemangat, mantan Wakil Presiden yang sekaligus juga Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyatakan bahwa “Masjid Lebih Aman Daripada Mal” (Jusuf Kalla, IDToday.co, 30/5/2020).

Saya sendiri sudah sepuluh kali tidak shalat Jumat berjamaah di masjid. Setelah diizinkan pemerintah, kemaren menjadi hari Jumat pertama untuk kembali berjamaah di masjid. Tetapi ini tentu saja harus dipahami, diterima dan dijalani dalam konteks “kenormalan baru” dengan berbagai protokol kesehatan dan kebiasan-kebiasaan baru.

Rasa syukur dan bahagia yang sama juga terbit ketika koperasi yang ikut saya gawangi telah mulai ramai bertransaksi. Para anggota koperasi sudah mulai aktif lagi menyetor dan menarik uang sesuai kebutuhan usaha mereka. Walaupun omset turun, mereka masih bersemangat. “Harus optimis Pak” kata salah seorang dari mereka. Sungguh menyenangkan hati.

Beatles mengakhiri lirik mereka dengan “I want her everywhere. And if she's beside….” Meskipun dia tak ada di sisi, membayangkan kehadirannya dan apa yang bisa dilakukan bersama—dalam situasi normal atau new normal—harus disyukuri. Supaya tak lupa bahagia.

Allaahu a’lam bi al-shawwaab.