blog_img1

Corona dan Social Safety Net

Saat ini, ketika Cina telah mulai membuka diri karena sudah berhasil mengendalikan pandemi Corona alias Covid-19, sekitar sepertiga wilayah lain di dunia justru menjalankan lock-down. Bahkan, dengan keberhasilan mengelola “pertempuran” melawan penyebaran virus yang bisa saja melumpuhkan perekonomian dunia tersebut, Cina telah mulai berbagi pengalaman, obat-obatan, perlengkapan kesehatan hingga tenaga medis kepada negara-negara yang meminta.

Bagi Indonesia, keberhasilan Cina ini tentu saja harus menjadi inspirasi dan model dalam pengelolaan pandemi Covid-19. Secara agama, kita bisa mengingat sebuah sabda Nabi Muhammad SAW, yang disampaikan lebih dari 1400 tahun lalu: “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina!” Ini bukanlah tindakan yang memalukan dan tak perlu takut dengan resistensi sosial dari segmen tertentu masyarakat kita yang entah kenapa memiliki sentimen anti-Cina.

Sementara itu, dalam ramalan statistik, sesuai prediksi beberapa ahli dari ITB,  Indonesia akan mengalami puncak epidemi pada April 2020, tepatnya pada minggu kedua dan ketiga (Tempo.co, 21/3/2020). Sedangkan epidemi ini sendiri Covid-19 diramalkan akan berakhir sekitar Mei sampai dengan Juni 2020.

Pada minggu ketiga Mei 2020, dalam riset matematis para ahli ITB tersebut, jumlah penderita secara akumulatif akan mencapai 60.000 orang. Sedangkan puncak penyebaran (atau keterdeteksian) penderita akan menyentuh angka 2.000 pada minggu kedua dan ketiga bulan April.

Jaminan Sosio-ekonomi

Berdasar perhitungan di atas, terdapat sekitar 3 (tiga) bulan, antara Maret dan Juni, di mana upaya-upaya pemutusan rantai pandemi berkemungkinan akan terus dilakukan. Dalam masa yang tak singkat tersebut, perhatian pemerintah dan seluruh pihak yang peduli juga wajib ditumpahkan pada aspek sosio-ekonomi masyarakat.

Sembilan rencana atau langkah antisipasi aspek sosio-ekonomi yang baru-baru ini disampaikan Presiden Jokowi (24/3) tentu saja menjadi salah satu jawaban yang terlihat menggembirakan. Kesembilan langkah tersebut mencakup aspek penganggaran pada lembaga pemerintahan, bantuan langsung tunai dan non-tunai bagi masyarakat, dan bantuan untuk UMKM.

Terkait penganggaran, mulai dari kementerian sampai pemerintah diinstruksikan untuk menjamin ketersediaan bahan pokok dan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah, pengalihan penganggaran yang tak berdampak langsung pada keterjaminan sosio-ekonomi masyarakat, serta realokasi anggaran penanganan virus corona dalam APBN 2020.

Untuk bantuan langsung, tunai atau tidak tunai,akan dijalankan program padat karya tunai, penambahan tunjangan Kartu Sembako Murah dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu per bulan, percepatan penyaluran kartu prakerja untuk pengurangan dampak PHK, serta penanggungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak gaji karyawan selama enam bulan.

Sedangkan bagi masyarakat yang bergerak dalam usaha mikro, kecil dan menengah, pemerintah memberikan relaksasi kredit, yakni bagi UMKM dengan nilai di bawah Rp10 miliar. Begitu juga untuk masyarakat yang membeli rumah bersubsidi, pemerintah akan membayar selisih bunga dan memberikan subsidi uang muka untuk kredit rumah bersubsidi.

Karena baru saja diluncurkan, kita tak bisa berbicara ex post facto mengenai semua skema ini. Hanya saja, belajar dari pengalaman dari berbagai krisis sejak zaman Orde Lama sampai Orde Reformasi ini, ada beberapa catatan yang bisa dipertimbangkan.

Pertama, seperti yang juga bisa kita baca dalam semua skema yang sudah dibuat pemerintah di atas, penjaminan kebutuhan pokok, atau secara ekonomi disebut subsistensi adalah hal utama. Secara durasi, ini bisa dalam ukuran satu, tiga atau enam bulan, sesuai dengan prediksi berakhirnya pandemi dan sampai masyarakat kembali bisa beraktivitas secara normal.

Belajar dari kasus bantuan langsung tunai (cash transfers) yang pernah dilakukan di Indonesia dalam berbagai bentuknya, persoalan ketepatan sasaran adalah tantangan utama di samping keberlanjutan dan pemberdayaan. Bahkan ini juga menjadi perkara yang tak mudah diselesaikan sejak jenis social safety net ini pertama kali diluncurkan di Brazil sejak 1990-an dan diadopsi oleh berbagai negara lainnya.

Untuk mengatasi tantangan ini, selain bekerja cepat, pemerintah harus betul-betul bekerja sistemik. Pemerintah harus membangun sistem yang efektif sehingga menjamin keterkumpulan dan keterolahan data secara akurat. Demikian juga, sistem ini harus mengatasi persoalan agency, yakni sistem struktural dan sosio-kultural yang menjalankan kebijakan-kebijakan jaring pengaman sosial di tingkat akar-rumput. 

Meskipun saat ini terjadi perkembangan teknologi informasi yang bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin, demi data dan keterpercayaan agency, sinergi yang definitif dan terarah antara pemerintah pusat dengan daerah menjadi prasyarat utama. Dan untuk itu, semua pihak harus sampai pada titik kesadaran bahwa egosentrisme pribadi dan ego-sektoral kelompok harus dikesampingkan.

Kedua, ketika diyakini bahwa koperasi dan UMKM adalah salah satu penyelamat kehidupan sosio-ekonomi dalam masa-masa krisis, pemerintah harus benar-benar tegas dan konsisten. Untuk itu, instrumen-instrumen legal-formal harus dibuat secara jelas dan definitif, sehingga keterjaminan keberlanjutan UMKM tidak lagi senantiasa terancam oleh perusahaan-perusahaan besar dan multinasional.

Relaksasi kredit adalah salah satu jalan. Akan tetapi, dengan mementum ini, pemerintah harus sampai pada konsepsi mendasar seperti dengan berbagai upaya yang disebut “small is beautiful” oleh ekonom Jerman E. F. Schumacher dalam buku klasiknya Small Is Beautiful: A Study of Economics As If People Mattered (1973).

Mengikuti pemikiran Schumacher, momentum ini harus dimaksimalkan demi mewujudkan berbagai kebijakan dan teknologi yang memberdayakan orang lebih banyak. Pemerintah dan siapapun yang terlibat dalam urusan ekonomi negara ini harus waspada terhadap kebalikan konsep ini, bahwa "lebih besar itu lebih baik".

Schumacher secara tegas menyatakan bahwa upaya-upaya pemberdayaan haruslah mencakup, “… [adanya] sistem administrasi industri yang lebih demokratis dan bermartabat, pemanfaatan mesin yang tak menafikan keberadaan manusia, dan secara lebih cerdas memanfaatkan berbagai penemuan dan hasil usaha manusia.”

Jika tidak, kalau diterjemahkan dalam konteks Indonesia, amanah konstitusional bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” seperti diamanahkan oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, tentu tak akan terwujud.

Allaahu a’lam bi al-shawwaab.   (Akurat.co, 26/03/2020)