blog_img1

Ujian Tak Mudah Bagi Pancasila

“Sulit sekali, saudara-saudara, pemersatuan rakyat Indonesia itu jikalau tidak didasarkan atas Pancasila. Tadi sudah dikatakan oleh saudara Mohamad Yamin. Alangkah banyak macam agama di sini; alangkah banyak macam aliran fikiran di sini; alangkah banyak macam golongan di sini; alangkah banyak macam suku di sini. Bagaimana mempersatukan aliran-aliran, suku-suku, agama-agama dan lain-lain sebagainya itu, jikalau tidak diberi satu dasar yang mereka bersama-sama bisa berpijak di atasnya? Dan itulah, saudara-saudara, Pancasila!” [Bung Karno]

Potongan pidato Bung Karno ini menunjukkan betapa perenungan para pendiri bangsa amat mendasar. Kita juga tak melihat adanya tendensi keberpihakan. Semua diusahakan mendapat tempat, karena semua adalah aset bangsa. Prinsip representasi benar-benar diterapkan di sini.

Meskipun ringkas, Pancasila berusaha mewadahi berbagai keragaman: agama, kesukuan, golongan dan  aliran pemikiran. Katakanlah, secara teoritis, kelima sila Pancasila—yang mencakup ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial—menjadi semacam overlapping consensus, suatu kesepakatan bersama.

Dalam perjalanan berbangsa-bernegara, pemersatuan rakyat Indonesia dalam mekanisme demokrasi ternyata tidaklah mudah. Meskipun sudah terdapat asas-asas bersama serta konstitusi berupa UUD 1945, terjadi berbagai konflik horizontal dan vertikal. Di sepanjang awal kemerndekaan hingga Orde Lama berakhir (1945-1965), terjadi berbagai gejolak berbasis sektarianisme serta ketidakpuasan atas kebijakan publik pemerintah pusat.

Situasi sosio-politik-ekonomi Indonesia perlahan berangsur membaik di masa Orde Baru (1966-1998). Meskipun, tentu saja, kita tak bisa mengabaikan catatan mengenai kebiri demokrasi. Orientasi stabilitas nasional yang diusung pemerintah Orde Baru lebih menekankan pendekatan keamanan sehingga mengabaikan konsolidasi atau pematangan demokrasi.

Kini, di Orde Reformasi, yang pada awalnya digerakkan gelombang demonstrasi di paruh kedua dekade 1990-an, terjadi semacam eksperimentasi ulang demokrasi. Kebebasan berekspresi menggelora, mengalir bergemuruh bagai air bah. Meskipun Pancasila tak mengalami perubahan, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen sehingga menjadi semakin ke kanan (liberalisme).

Di tengah gelombang pasang demokrasi tersebut, yang kini sudah memasuki tahun ke-21, perkara agama dan kesukuan seperti mengalami pancaroba. Pancasila, yang di zaman Orde Baru, didoktrinkan sebagai ideologi yang “sakti” mengalami ujian yang tak mudah. Ia seperti ditantang untuk menunjukkan kekuatannya dalam pemersatuan rakyat Indonesia.

Pertama-tama, kita bisa melihat catatan Setara Institute. Dalam 12 tahun terakhir, umpamanya, tak kurang dari 2.400 kasus terjadi serta terdapat 3.177 insiden. Ini mencakup kasus-kasus pelarangan beribadah atau membangun rumah ibadah, penyerangan disertai kekerasan oleh kelompok-kelompok intoleran, serta beragam kasus lainnya.

Secara politik, survei pasca pemilu 2019 oleh Tom Pepinsky (2019) dan Diego Fossati (2019) juga menunjukkan eskalasi pancaroba yang cukup memprihatinkan. Dalam survei Pepinsky, dengan melakukan analisis atas data demografi dari IPUMS-Internasional menggunakan LOWESS Regression, ditemukan pola-pola yang secara konsisten menunjukkan pembelahan antara pemilih Muslim dan non-Muslim, juga antara etnis Jawa dan non-Jawa, dalam Pemilu Presiden 2019. Pemilih non-Muslim dan/atau beretnis Jawa cenderung mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf,  ketika pemilih Muslim dan/atau beretnis non-Jawa cenderung mendukung Prabowo-Sandiaga.

Sementara itu, survei Fossati menunjukkan penguatan kembali politik aliran, mencerminkan apa yang terjadi pada pemilu pertama Indonesia tahun 1955. Perpolitikan Indonesia, menurut riset Fossati, digerakkan dan dikelola melalui kelompok-kelompok ideologis dan kepartaian yang kental. Politik agama, terutama Islam politik, berasosiasi dengan sikap dan perilaku politik umat Islam. Terkait perkara keadilan sosial-ekonomi, terjadi penguatan isu-isu redistribusi ekonomi dan otonomi daerah. 

Catatan beberapa lembaga survei publik bisa membantu kita melihat lebih jauh tren ini. Pada tahun 2005, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa publik yang pro-Pancasila mencapai 85,2 persen. Tetapi persentase ini turun menjadi 81,7 persen pada 2010, turun lagi menjadi 79,4 persen pada 2015, dan kembali turun menjadi 75,3 persen pada 2018. Artinya, dalam rentang 13 tahun, terjadi penurunan jumlah publik yang pro-Pancasila sebesar 10 persen.

Seiring dengan itu, catatan survei LSI  mengenai publik pro-NKRI bersyariah berbanding lurus dengan penurunan di atas, yakni mengalami kenaikan sebesar 9 persen selama 13 tahun. Hasil survei terkait publik pro-NKRI bersyariah tahun 2005 adalah 4,6 persen, mengalami kenaikan menjadi 7,3 persen pada 2010, naik lagi menjadi 9,8 persen tahun 2015, serta kembali naik menjadi 13,2 persen pada 2018.

Meskipun terdapat selisih, survei-survei yang dilakukan berbagai lembaga pada 2019 menunjukkan tren yang tak jauh berbeda. Survei Cyrus Network yang dirilis pada Agustus 2019 menunjukkan bahwa 70,3 persen warga Indonesia menerima Pancasila sebagai ideologi dan perekat bangsa. Sementara itu terdapat 13,1 persen warga yang menginginkan Indonesia bersyariah serta 4,7 persen yang setuju dengan konsep khilafah diterapkan di Indonesia.

Survei lainnya dilakukan PPI dan dirilis pada 29 November 2019. Dengan tujuan yang kurang lebih sama namun dengan menggunakan pertanyaan survei yang agak berbeda, ditemukan bahwa 81,4 persen  masyarakat Indonesia cenderung moderat, di mana mereka melihat agama dan negara (Pancasila) sama pentingnya. Seiring dengan itu, terdapat 15,5 persen warga menganggap agama lebih penting dari Pancasila  serta 3 persen yang lebih memilih Pancasila lebih penting daripada  agama.

Survei ini juga seiring dengan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang sebelumnya (3 November 2019) yang merilis bahwa terdapat 86,5 persen warga yang menilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar adalah dua pranata terbaik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu, terdapat 4 persen warga yang berpendapat bahwa dasar negara bertentangan dengan Islam serta 1,8 persen yang menganggapnya perlu diganti dengan yang lain.

Terkait dengan pengelolaan ranah pribadi dan publik, survei Parameter Politik Indonesia (PPI menemukan bahwa terdapat 62 persen warga yang menyuarakan pentingnya nilai agama tanpa mesti adanya formalisasi. Di samping itu, terdapat 22,1 persen yang berpendapat bawah agama adalah urusan pribadi dan 6,7 persen yang menghendaki negara berdasar agama atau formalisasi agama. 

Di balik angka-angka di atas, terdapat beberapa indikasi yang boleh jadi bisa menjadi jalan keluar.  Secara ringkas ini mencakup perbaikan sektor ekonomi, fokus pada deradikalisasi umat Islam yang terpapar paham radikal serta pendidikan kewarganegaraan yang lebih tepat dan baik.

Pertama, terdapat kecenderungan bahwa faktor ekonomi berkontribusi terhadap penurunan persentase publik pro-Pancasila dan kenaikan publik pro-NKRI bersyariah. Berdasarkan rilis rangkaian survei Lingkaran Survei Indonesia, penurunan publik yang pro-Pancasila dengan penghasilan rata-rata di bawah satu juta rupiah mencapai 22,7 persen. Sedangkan penurunan publik pro-Pancasila dengan rata-rata penghasilan di atas tiga juta rupiah hanya 11,6 persen.

Kedua, faktor agama juga cukup menentukan terkait pilihan ber-NKRI berdasar Pancasila atau ber-NKRI namun bersyariah. Umat Islam yang pro-Pancasila berdasar survei  2005 adalah 85,6 persen. Persentase ini turun pada 2010 menjadi 81,8 persen, turun lagi pada 2015 menjadi 79,1 persen, dan kembali turun pada 2018 menjadi 74 persen. Sedangkan persentase pemeluk agama lain yang pro-Pancasila (Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha) bergerak stabil di angka 82,8 persen.

Ketiga, dari segi tingkat pendidikan, meskipun sama-sama mengalami penurunan, persentase warga yang pro-Pancasila lebih besar di kalangan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Survei pada 2018, yang pada dasarnya merepresentasikan proporsi dalam survei-survei sebelumnya, menunjukkan warga pro-Pancasila yang berpendidikan tinggi hanya sebesar 72,8 persen. Ini lebih kecil dari warga berpendidikan SMA (74 persen), SLTP (76,5 persen), serta SD (76,3 persen).

Angka-angka dari segi tingkat keterdidikan inti tentu terlihat anomali. Tetapi ini pada dasarnya menunjukkan bahwa ada persoalan mendasar terkait kualitas pendidikan kewarganegaraan (civics education) kita. Kenapa pada warga negera tertentu, ketika semakin tinggi tingkat pendidikan mereka, semakin rendah jiwa Pancasilanya?

Atas data dan fakta tersebut, tugas pemerintah dan bangsa ini secara umum untuk menanamkan kesadaran “setara dalam keragaman” berdasar nilai-nilai Pancasila, tanpa prasangka agama dan kesukuan, masih menjadi pekerjaan rumah yang harus terus diseriusi.  Allaahu a’lam bi al-shawwaab.

Sumber: Akurat.co, 19 Februari 2020