blog_img1

Membenahi Tradisi Ilmiah Perguruan Tinggi

Ada berita menarik dalam rapat bersama antara Komisi X DPR-RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada akhir Januari 2020 lalu. Salah satu anggota dewan meminta supaya  Mendikbud menghapus peraturan tentang kewajiban dosen untuk menerbitkan karya tulis dalam jurnal internasional.

Menurut beliau, kewajiban tersebut kontraproduktif. Pasalnya, dengan menerbitkan hasil penelitian dalam jurnal internasional, negara dan dosen mengalami kerugian. Di samping “menyerahkan” hasil riset secara cuma-cuma, dosen dan negara mengalami kerugian karena sudah bersusah-payah membiayai riset yang dilakukan.

Terlepas dari keberatan apapun yang dirasa atau dialami oleh anggota Dewan, ataupun para dosen, tradisi ilmiah di semua universitas di belahan dunia manapun justru diukur dengan kuantitas dan kualitas riset dan publikasi. Seiring dengan itu, kemajuan negara maju manapun berjalan paralel dengan kemajuan peradaban ilmiah mereka.

Sesuai fungsi jabatannya, sasaran anggota legislatif kita ini tentulah Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20 Tahun 2017. Dalam peraturan ini, baik lektor  maupun profesor diwajibkan meneliti dan mempublikasi hasil penelitian mereka dalam jurnal ilmiah nasional dan/atau internasional. Secara teknis-administratif, ketercapaian kinerja ilmiah ini diatur sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan kenaikan dan tunjangan jabatan fungsional.

Sekitar satu tahun setelah diterbitkan, peraturan menteri tersebut belum menjadi insentif yang maksimal. Sebagai contoh, berdasarkan data Kemenristekdikti tahun 2018, terdapat 5.366 orang guru besar atau profesor di Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 1.500 orang yang sudah menerbitkan karya ilmiah dalam jurnal-jurnal internasional. Sedangkan sisanya, sekitar 3.800 orang, belum melakukannya. 

Dalam konteks legislasi, Permenristekdikti ini tentu saja sudah sesuai dengan amanah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kita bisa menelusuri dan membandingkannya dengan ketentuan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya Pasal 60 dan 72. Demikian juga jika ini ditelusuri dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama Pasal 39.

Kedua undang-undang tersebut secara tegas menyatakan bahwa dosen wajib melakukan penelitian, di samping mengelola kegiatan belajar-mengajar di kampus masing-masing. Kemampuan dan keberhasilan melakukan penelitian menunjukkan kualitas dosen sebagai academic leader, ahli akademis utama dalam bidang yang diampu. Sebagai bukti dari keahlian tersebut, seorang dosen harus menghasilkan karya ilmiah yang diakui publik akademis, yakni diterbitkan dalam jurnal-jurnal yang bereputasi nasional dan internasional.

Semua ketentuan ini juga berlaku dalam tradisi perguruan tinggi di seluruh belahan dunia. Ini bisa kita lihat misalnya dengan cara mengakses laman website berbagai perguruan tinggi tersebut.

Sebagai contoh, di laman New York University (NYU),  Amerika serikat, kita baca para dosen harus berkomitmen untuk mengajar, melakukan penelitian, membimbing mahasiswa, kegiatan lapangan, serta kepanitiaan profesional internal maupun eksternal. Di Jurusan Matematika University of Houston, proporsi fungsi dosen bahkan dikuantifikasi lebih terukur: 40 persen untuk melakukan penelitian, 40 persen mengampu pembelajaran serta 20 persen memberikan pelayanan masyarakat.

Selanjutnya, berbicara tentang tradisi ilmiah universitas-universitas dunia, mari kita lihat apa yang dilakukan The Times Higher Education World University Rankings (THE). Dengan misi untuk membantu perguruan tinggi mengembangkan diri, lembaga ini melakukan penilaian komprehensif terkait misi utama setiap universitas: pembelajaran, penelitian, transfer pengetahuan dan reputasi internasional.

Sebagai alat ukur penilaian, THE menentukan indikator kinerja universitas dalam lima bidang, yakni pengajaran (lingkungan belajar) dengan bobot 30 persen; penelitian (volume, pendapatan, dan reputasi) dengan bobot 30 persen; sitasi (pengaruh penelitian) dengan bobot 30 persen; reputasi internasional (staf, mahasiswa, dan penelitian) dengan bobot 7,5 persen, serta pendapatan industri (transfer pengetahuan) dengan bobot 2,5 persen.

Secara substansi, rangkaian indikator ini sangat komprehensif. Di samping itu, secara ilmiah, sebagai alat ukur ini telah dikalibrasi secara baik dan benar. Indikasi lain, hasil penilaian THE menjadi rujukan bagi universitas dan negara yang ingin memajukan pendidikan mereka di seluruh dunia.

Mencermati pembobotan ini, selanjutnya, terdapat dua indikator terbesar selain pengajaran, yakni penelitian dan sitasi (hasil penelitian dikutip peneliti/penulis lain) berjumlah 60 persen. Artinya, kapasitas dan hasil karya para dosen dalam meneliti dan menulis menentukan kualifikasi mereka dan kemampuan memfasilitasi dosen-dosen yang qualified menjadi parameter penentu tak terbantahkan tentang kualitas sebuah universitas.

Dalam rilis THE terbaru, rata-rata universitas di Indonesia rendah dalam hal riset dan publikasi. Universitas Indonesia, sebagai contoh, yang berada pada posisi antara 601-800, hanya memiliki nilai  19,2 untuk riset dan 16,1 untuk sitasi. Institut Teknologi Bandung (ITB), yang berada pada posisi 1001, memiliki skor 16,7 untuk riset dan 16,1 untuk sitasi. Ratusan perguruan tinggi lain tentu saja berkinerja lebih rendah lagi.

Aspek lain yang juga harus menjadi pertimbangan para para penyelenggara pemerintahan di Indonesia, baik pihak legislatif maupun eksekutif, adalah paralelitas antara kuantitas dan kualitas riset di perguruan tinggi dengan tingkat kemajuan sebuah negara. Untuk itu, mari kita lihat data seperti yang dirilis oleh GTCI ISEAS dan Scimago.

Berdasar rilis Global Talent Competitiveness Index (GTCI) terkait daya saing negara berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia yang dimiliki, Indonesia berada pada posisi keenam di Asia Tenggara dengan skor 38,61. Sementara itu, Singapura menempati peringkat pertama dengan skor 77,27, disusul oleh Malaysia (58,62), Brunei Darussalam (49,91), dan Filipina (40,94). 

Sementara itu, dalam rilis Scimago, yang lebih spesifik terkait kemampuan perguruan tinggi sebuah negara  dalam bidang riset dan penerbitan ilmiah menunjukkan hasil yang paralel. Data penilaian mereka menunjukkan bahwa semakin maju sebuah negara, semakin banyak riset dan penelitian ilmiah yang diterbitkan dan dikutip di seluruh dunia.

Dalam rilis pada pada 2019, Amerika Serikat menempati peringkat pertama dengan indeks-h  2.222 dan disusul Inggris  dengan indeks-h 1373 dan Jerman dengan indeks-h 1203. Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia dengan indeks-h 214, kalah dari Singapura (535), Thailand (311), Malaysia (281), dan Filipina (224).

Alhasil, berdasar fakta-fakta ini, kebijakan mewajibkan para dosen di Indonesia untuk meneliti dan menulis ilmiah dengan berbagai cara adalah tepat. Alasan-alasan yang mengada-ada, baik yang disampaikan sebagian dosen maupun kalangan masyarakat lainnya dijadikan saja sebagai cambuk untuk terus berbenah, sambil berusaha menemukan cara-cara lain bagi kemajuan pendidikan bangsa dan negara ini. **

(Tayang di Akurat.co 12 Februari 2020)