blog_img1

Mengalihkan Lembaga Pendidikan Agama kepada Kemendikbud

Refleksi ini pada dasarnya mengakar pada latar belakang saya sebagai santri, lingkungan hidup di mana agama amat penting, serta berbagai fakta tentang pengelolaan kemudahan beribadah oleh negara. Juga ada tanggung jawab sosial sebagai pejabat publik, bahwa kemanfaatan atau kemaslahatan bagi orang banyak harus diwujudkan dengan satu dan lain cara.

Saya mulai dengan peristiwa prosesi pengumuman kabinet pada minggu terakhir Oktober 2019, yang menandai babak baru institusionalisasi kebijakan publik kita. Banyak yang tetap seperti biasa, tentu saja. Tetapi ada beberapa perubahan yang menjanjikan harapan.

Dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa”, salah satu reinstitusionalisasi yang melegakan adalah penggabungan kembali Kemendiknas dan Dikti dalam satu kementerian, yaitu Kemendibud. Sebelumnya, sejak Oktober 2014, keduanya dipisah dan menjadi dua kementerian yang berbeda.

Penggabungan Diknas dan Dikti sesuai dengan rekomendasi BPK kepada Presiden. Setelah BPK memeriksa Diknas dan Dikti, ada yang tidak ngelink, ada keterputusan kebijakan pendidikan di tingkat TK hingga SMA dengan perguruan tinggi. Apalagi menempatkan dua orang Menteri dari mazhab yang berbeda. Kemendiknas dinahkodai Muhajir Effendi bermazhab Muhammadiyah, dan Kemenristek Dikti dikomandoi oleh mantan Rektor Universitas Diponegoro, Muhammad Nasir bermazhab NU. Karena itu, BPK merekomendasikan bahwa pendidikan mulai tingkat PAUD hingga tingkat doktor sebaiknya diurus oleh satu Kementerian. 

Hanya saja, sampai sekarang, masih ada lembaga pendidikan yang berada di luar kewenangan Kemendikbud, yaitu lembaga pendidikan agama di bawah Kementerian Agama. Setelah bulan-bulan diterpa suasana politik yang panas dan menegangkan pada saat Pilpres 2019, di mana isu-isu agama, sukuisme dan ras menjadi barang dagangan politik, pilihan menetapkan lembaga pendidikan agama tetap di bawah kewenangan kementerian agama seperti sebelumnya, itu terasa kurang pas. Selain alasan substantif, ketidaktepatan ini juga karena pertimbangan historis.

Mari kita mulai dengan beberapa fakta sejarah. Tahun 1946, dalam sejarah Kementerian Agama, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengusulkan bahwa Kementerian Agama mengambil alih tugas keagamaan dari Kementerian Dalam Negeri waktu itu. Alasan utamanya adalah karena keanekaan budaya dan agama di Indonesia wajib diurus secara tepat dan saksama. Cakupan tugas pokok dan fungsinya meliputi penanganan masalah-masalah keagamaan yang menjadi fenomena secara publik saat itu. Di antaranya adalah persoalan perkawinan, peradilan agama, kemasjidan, rumah ibadah  dan urusan haji.

Di tengah gelombang pasang politisasi agama yang sampai kini tak kunjung usai, kita bisa simpulkan bahwa para pendahulu kita telah bertindak bijak. Mereka membentuk Kementerian Agama atas dasar kebutuhan riil dan pertimbangan kepentingan publik, yakni sebagai institusi yang mengurus toleransi dan kemudahan menjalankan ajaran agama.

Kenyataannya kini,  Kementerian agama lebih banyak mengurus pendidikan formal. Dalam anggaran tahun 2019 misalnya, anggaran Kemenag berjumlah 63,7 triliun, sebanyak 53 triliun atau 83 persen adalah untuk anggaran lembaga pendidikan agama, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang ditangani Kementerian Agama. Sedangkan sisanya, sejumlah 10,7 triliun atau 17 persen adalah untuk urusan bimbingan masyarakat, Kantor Urusan Agama (KUA) dan bantuan-bantuan.

Dengan melihat persentase tersebut, sudah jelas aspek toleransi dan kemudahan menjalankan agama tak menjadi prioritas. Konsekuensi berikutnya, tentu saja, Kementerian Agama tak bisa diharapkan akan menjadi semacam anchor atau representasi kehadiran negara terkait urusan toleransi dan kebebasan beragama.

Dalam berbagai kasus kekerasan atas nama agama, sebagai contoh, Kementerian Agama bersikap ambigu kalau tidak lepas tangan. Karena biasanya bergerak sesuai kurva normal, ketiadaan prioritas dalam institusionalisasi kebijakan publik terkait hal ini menyebabkan keterlibatan atau penanganan yang tak penuh atau bersifat temporer. Dengan pola seperti itu, kekerasan atas nama agama tak akan pernah bisa diurus dan diselesaikan oleh Kementerian Agama.

Sesuai teori dan praktik pemerintahan presidensial, kesempatan untuk memperbaiki sistem institusionalisasi kebijakan publik terkait agama ini selalu terbuka sampai kapan pun. Prasyarat utamanya adalah adanya suatu political will yang dibangun mengatasi keragu-raguan dan bacaan politik yang lebih tepat tentang percaturan kepentingan kelompok sosial.

Sebagai sebuah alternatif, urusan pendidikan yang menyita 80 persen lebih sumber daya manusia, energi, dan biaya yang dikelola Kementerian Agama sebaiknya dialihkan saja sepenuhnya kepada Kementerian Pendidikan. Kementerian Agama selanjutnya fokus dengan urusan toleransi ummat beragama dan kemudahan beribadah. 

Dari sisi penganggaran, jika ini yang menjadi sumber persoalan utama, digunakan model money follows functions. Dengan melakukan semacam analisis kebutuhan reinstitusionalisasi secara ilmiah dan terukur, Kementerian Agama bisa saja mendapatkan anggaran yang sesuai. Hal terpenting adalah bahwa sebagai Kementerian yang mengurusi “suasana kejiwaaan” masyarakat, Kementerian Agama menjadi fokus dan efektif.  

Jika pemerintah saat ini setuju untuk melakukan reinstitusionalisasi sehingga menjadi sebuah Kementerian yang fokus mengurus satu aspek penting dalam kehidupan kebangsaan, saya membayangkan seperti adagium “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.”

Persoalan-persoalan di Kementerian Agama, seperti tuduhan praktik korupsi, profesionalisme pengelolaan haji dan dana haji, keberpihakan agama atau mazhab agama, pertarungan ideologis-simbolis, formalisasi agama dan keberagamaan, serta pendidikan agama yang berhaluan formalistik bisa diatasi.

Secara ideologis, Kementerian Agama akan menjadi wilayah moderat yang mengayomi semua umat. Sedangkan secara manajerial-profesional, Kementerian Agama tak lagi sekadar menjadi ladang kepentingan politik dan ekonomi dalam sebuah sistem pemerintahan negara di mana agama berposisi amat penting. Wallaahu a’lam bi al-shawwaab.