blog_img1

Banjir dan Pembenahan Tata Ruang Kawasan Jabodetabek

Masyarakat di kawasan Jabodetabek harus memulai tahun baru 2020 dengan menyesakkan dada. Curah hujan yang cukup tinggi sejak Selasa (31/12/2019) malam hingga Rabu (1/1/2020) telah membuat kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok (Jabodebatek) terendam banjir. Banjir kali ini terbilang cukup parah dan merata di semua kawasan Jabodetabek. Curah hujan yang cukup tinggi menjadi salah satu penyebabnya. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), curah hujan pada Rabu (1/1/2020) merupakan yang tertinggi sejak 1996. BMKG mencatat, curah hujan tertinggi terjadi di kawasan Halim Perdanakusuma dengan intensitas 377 mm/hari. Angka ini mengalahkan curah hujan pada tahun 2007 yang tercatat berada di angka 340 mm/hari.

Banjir merupakan persoalan ibukota yang terjadi hampir setiap tahun. Sejarah mencatat, banjir di Jakarta sudah terjadi sejak zaman Belanda. Bahkan sejak zaman kerajaan Tarumanegara. Dengan demikian, tidak ada yang perlu disalahkan atas banjir yang terjadi. Tidak juga kita harus menyalahkan alam. Jika kita mau jujur, semua punya kontribusi atas banjir yang terjadi. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, hingga masyarakat. Tak perlu menyalahkan pemerintah saat banjir terjadi jika kita masih ringan tangan membuang sampah sembarang ke saluran air tanpa memikirkan resikonya. Kita juga masih betah tinggal dibantaran sungai dan terkadang menolak untuk direlokasi saat pemerintah mau melakukan pelebaran sungai-sungai di Jakarta.

Diluar itu, satu persoalan penting yang perlu kita kritisi adalah bagaimana penataan ruang di kawasan Jabodetabek. Banjir yang terjadi kembali mengingatkan kita tentang pentingnya tata ruang (RT/RW) di kawasan Jabodetabek. Mengapa ini penting?

Seperti kita ketahui bahwa, kawasan Jabodetabek ini dihuni kurang lebih 30 juta jiwa penduduk. Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa wilayah Jabodetabek merupakan kawasan strategis nasional. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

Penataan ruang di kawasan ini juga tidak bisa dipisahkan (berdiri sendiri). Semuanya harus terkoneksi sebagai satu kesatuan wilayah yang saling terkait dan saling mendukung. Wilayah Jabodetabek sudah menjadi kesatuan yang saling mengikat. Kondisi yang terjadi saat ini adalah masyarakat yang tinggal di pinggir Jakarta melakukan perpindahan bolak-balik untuk bekerja di Jakarta. Sehingga pengelolaannya kawasan ini harus terintegrasi baik itu sistem tataruang, transportasi dan pengelolaan sampahnya.

Pertumbuhan penduduk yang cukup besar di Jakarta juga memaksa warga untuk lebih banyak membangun hunian di wilayah-wilayah penyangga seperti Depok, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Pembangunan hunian yang cukup pesat di kawasan penyangga tersebut secara tidak langsung juga berkontribusi terhadap terjadi banjir di Jakarta. Karena daerah-daerah penyangga ini, seperti Depok dan Bogor merupakan kawasan lokasi resapan air. Namun, Gubernur Jakarta tidak mungkin melakukan intervensi atas alihfungsi lahan untuk pemukiman yang pesat di kawasan penyangga.

Pada titik inilah, perlunya satu lembaga khusus yang bisa mengkoordinasi penataan ruang di kawasan Jabodetabek. UU No 26 Tahun 2007 sebenarnya telah mengamanatkan pembentukan Badan Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang Nasional (BKPRN) di tingkat nasional dan Badan Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang Daerah (BKPRD) untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Namun  pada tahun 2016, pemerintah memutuskan membubarkan BKPRN bersama 8 lembaga non-struktural lainnya. Imbasnya, beberapa Provinsi juga membubarkan BKPRD seperti Provinsi Jawa Barat.

Tahun 2015, Kementerian Agraria dan Tataruang/BPN sebenarnya pernah mengajukan konsep tata ruang dalam bentuk RTRW dan RDTR area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan. ATR/BPN memandang bahwa kawasan Jabodetabek sudah menjadi kesatuan yang saling mengikat. Bukan lagi sekedar individu kota atau kabupaten. Oleh karena itu, perlu adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) khusus yang mengaturnya secara terintegrasi. Namun, konsep ini hilang tanpa pernah dieksekusi seiring pergantian pimpinan di kementerian tersebut.

Padahal, konsep tersebut sebenarnya cukup bagus dibandingkan usulan lain yang pernah muncul. Seperti misalnya usulan agar kawasan Jabodetabek dikoordinasi oleh pejabat setingkat menteri. Ada juga yang mengusulkan agar dibentuk Badan Koordinasi Megapolitan baik dilevel eksekutif (Gubernur/Bupati/Walikota) maupun level eksekutif (DPRD). Namun, tentu saja, semua usulan tersebut akan sulit diwujudkan karena akan mengurangi kewenangan pemimpin daerah. Gubernur, Bupati dan Walikota tentu tidak mau kewenangannya dikurangi.

Kini, banjir yang melanda Jakarta kembali menyadarkan kita bahwa penataan ruang itu perlu dibenahi. Jakarta tidak mungkin bergerak sendiri mengatasi banjir dan membenahi tata ruangnya. Begitu juga dengan Bogor, Bekasi, Depok dan Tangerang. Pemimpin di kawasan ini, plus Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten harus kembali duduk bersama merumuskan penataan ruang kawasan Jabodetabek di masa depan. Pemerintah pusat pun harus terlibat secara aktif. Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN serta Kemendagri harus ikut duduk bersama menyelesaikan masalah yang terjadi dan menata ulang kembali tata ruang di kawasan.

Jangan lagi masyarakat menjadi korban atas bencana banjir yang terjadi. Banjir yang diakibatkan oleh keterlambatan pemerintah melakukan perbaikan dan perawatan atas fasilitas infrastruktur. Atau karena kelalaian pemerintah dalam menyusun tata ruang kawasan. Banjir yang terus berulang ini, harus diatasi segera. Warga Jakarta tentu saja bermimpi, suatu saat nanti, di masa depan, mereka dapat hidup tenang setiap musim penghujan, tanpa kekhawatiran akan terjadi banjir yang merendam pemukiman mereka.[]

Akurat.co, 3 Januari 2020